in

Sistem Pencatatan Tanah di Indonesia Dinilai Masih Jadul

Widhi Handoko.

 

 

HALO SEMARANG – Sistem pencatatan pertanahan di Indonesia dinilai masih jadul, atau ketinggalan zaman.
Akademisi Universitas Diponegoro (Undip) Widhi Handoko mengatakan, perlu ada reformasi di bidang agraria. Salah satunya dengan mendigitalkan sertifikat tanah, atau e-sertifikat.

“Kebijakan harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Merubah sistem konvensional menjadi online adalah salah satu gebrakan yang harus dilakukan. Zaman sudah maju begini, masih manual pakai surat. Harusnya sudah pakai sistem E-Sertifikat,” katanya, dalam diskusi mengusung tema ‘Pelayanan Sertifikasi Tanah, “Sudahkan Berpihak kepada Masyarakat?” di Monod Diephuis & Co Kota Lama Semarang, Senin (20/1/2020).

Menurut Widhi, pelayanan mengenai pengajuan sertifikasi tanah belum efektif. Bahkan jumlah SDM yang dimiliki oleh BPN di masing-masing daerah tidak akan mencukupi dalam melayani masyarakat.

“Di masing-masing kota/kabupaten itu jumlah BPN hanya satu. Sementara pengajuan pengurusan surat tanah sangat banyak. Petugasnya tidak akan mencukupi kebutuhan pelayanan kepada masyarakat,” ungkapnya.

Widhi menjelaskan, hal yang paling efektif untuk memenuhi pelayanan masyarakat adalah dengan mengubah sistem konvensional menjadi online.

“Apabila sistem pelayanan ditegakkan secara online tentu akan membuat kinerja BPN lebih efisien,” katanya.

Berdasar catatan dia, pada 2019, jumlah pengajuan sertifikat yang belum terselesaikan mencapai 9.000 pengajuan.

“Bayangkan jika sistemnya masih konvensional, dalam sehari mampu melayani berapa? Kalau online semua itu bisa lebih efisien. Lagipula pembayarannya bisa langsung melalui transfer, agar semua terkontrol dan meminimalisir pertemuan antara pelayan dan yang dilayani (masyarakat),” tandasnya.

Widhi mengusulkan agar sertifikat tanah yang diterbitkan bukan lagi dalam bentuk fisik, melainkan sudah berbentuk digital atau e-sertifikat.

“Apabila sertifikat tanah dikemas secara digital, akan lebih memudahkan masyarakat dalam memiliki sertifikat tersebut. Karena jika sertifikat itu dalam bentuk kertas, resikonya sangat besar. Bisa rusak karena faktor alam maupun manusia. Saya kira bisalah kita lakukan itu, bisa dipelajari, tinggal pemerintah mau atau tidak,” tambahnya.

Sementara itu, plt Kepala Distaru Kota Semarang, Irwansyah mengatakan, pihaknya akan melaksanakan program reformasi agraria. Dalam program tersebut, Pemerintah Kota Semarang menargetkan hingga 2024, persoalan sertifikat di Kota Semarang diharapkan rampung.

“Kami sudah menyiapkan anggaran untuk program itu. Kami harus membantu menyelesaikan 1.000 surat tanah. Targetnya tahun 2024, 100 persen tanah bersertifikat,” tambahnya.(HS)

Mangkal di Pinggir Jalan, 23 WPS Dan 3 Waria Terjaring Operasi Satpol PP Kota Semarang

Ganjar Larang Rumah Sakit Tolak Pasien Miskin