HALO BLORA – Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kabupaten Blora mengajak sejumlah siswi SMK dan yang sedang praktik kerja lapangan atau magang di perangkat daerah tersebut, mengunjungi dan membuat konten di rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer, di Jalan Sumbawa, Kelurahan Jetis, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Rabu (22/1/2025).
Dalam kegiatan yang dilaksanakan menjelang peringatan 100 tahun sastrawan tersebut, rombongan diterima oleh Suratiyem, istri Soesilo Toer (adik dari sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer).
“Mohon maaf, ini Pak Soes tidak di rumah, lagi ke Semarang, silahkan kalau mau lihat-lihat. Biasanya anak-anak SMA/SMK juga ke sini didampingi gurunya, mereka membuat film,” kata dia, seperti dirilis blorakab.go.id.
Tanpa menunggu dikomando, siswi SMK jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) itu langsung beraksi dengan kamera gawainya.
Mereka merekam apapun yang ada di ruangan itu, melalui beragam angle atau sudut pandang yang dianggapnya estetis dan menarik untuk konten, yang akan mereka unggah di media sosial.
“Ini momen yang tepat bagi kami, meskipun kami asli Blora, ini pertama kali berkesempatan mengunjungi rumah masa kecil sastrawan Indonesia yang dikenal di dunia internasional. Kami sangat bangga, Blora punya sastrawan hebat,” kata Sagita Ayu Novianti, siswi SMKN 1 Blora.
“Kami ngonten di rumah masa kecil Mbah Pramoedya Ananta Tour, terima kasih kami haturkan kepada keluarga yang telah memnerima kami dengan baik,” sambung Rizki Aprilia SMK Annuroniyah Sulang, Rembang.
Ungkapan senada disampaikan Dhania Ayu Ninda Sutara, Mahasiswa Universitas Sebelas Maret jurusan Manajemen Pemasaran. Ia sangat mengagumi karya Pramoedya Ananta Toer.
“Novel Bumi Manusia, buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini juga menggambarkan kehidupan sosial-budaya masyarakat Jawa pada masa penjajahan Belanda. Tema-tema yang diangkat antara lain Kolonialisme dan perpisahan, Perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme, Cinta dan pengorbanan, Identitas dan budaya, Keadilan dan kemanusiaan,” kata Dhania.
Peringatan Seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer jatuh pada tanggal 6 Februari 2025 mendatang bakal diadakan di Blora.
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan Indonesia kelahiran Blora yang telah menghasilkan lebih dari 50 karya sastra dan diterjemahkan dalam 42 bahasa di seluruh dunia.
Yayasan Pramoedya Ananta Toer bekerja sama dengan Komunitas Beranda Rakyat Garuda menyelenggarakan #SeAbadPram, gerakan pekerja kreatif lintas generasi yang menghidupkan dan menyebarkanluaskan pemikiran, semangat, dan nilai-nilai dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer kepada orang muda sepanjang tahun 2025.
Gerakan ini rencananya akan diluncurkan dalam festival di kota kelahiran Pramoedya, Blora, pada 6-8 Februari 2025, dengan sejumlah mata acara, mulai dari pemancangan nama jalan Pramoedya Ananta Toer, kuliah peringatan, diskusi, pameran cetak ulang buku-buku Pramoedya, pemutaran film dan dokumenter, pembacaan drama, ceramah peringatan, pementasan teater, diskusi, pemutaran film, pameran seni patung dan sketsa.
Lantas, digelar konser musik Anak Semua Bangsa yang menghadirkan sejumlah musisi nasional.
Tentang Pramoedya
Terlahir sebagai putra sulung keluarga guru nasionalis di Blora, 6 Februari 1925, Pramoedya Ananta Toer mengenyam pendidikan dasar di Institut Boedi Oetomo Blora, yang dipimpin ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri.
la juga sempat melanjutkan pendidikan di Radio Vakschool Surabaya, tetapi tidak sempat menerima ijazah, setelah runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dan masuknya pasukan Pendudukan Jepang
Pada bulan Juni 1942, Pramoedya merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik Kantor Berita Domei, sambil melanjutkan pendidikan menengahnya di Taman Madya.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Pramoedya bergabung dalam Resimen VI Divisi Siliwangi yang bertugas di wilayah Bekasi.
Pilihan Pramoedya mendukung kemerdekaan Indonesia ditebusnya dengan hukuman penjara di Bukit Duri, mulai 23 Juli 1947 hingga 18 Desember 1949.
Di balik jeruji besi inilah, dua roman pertama, Perburuan dan Keluarga Gerilya, ditulis. Pada tahun 1950, Pramoedya diangkat sebagai redaktur sastra Indonesia modern di Balai Pustaka.
Pramoedya juga bekerja sebagai pengarang penuh waktu, penerjemah, dan kontributor lepas di berbagai surat kabar dan majalah, setelah berhenti dari Balai Pustaka.
Kiprahnya sebagai wajah baru dalam kesusastraan Indonesia mengantarkan Pramoedya pada berbagai pencapaian, mulai dari Program Residensi di Belanda atas biaya Stichting voor Culturele Samenwerken (Sticusa) pada tahun 1953; undangan peringatan wafat Lu Hsun dari Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1956; hingga mengetuai utusan Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent pada tahun 1957.
Pada bulan Agustus 1960, Pramoedya ditangkap dan dipenjara selama satu tahun tanpa diadili karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia.
Buku ini dianggap subversif oleh penguasa saat itu, karena menunjukkan pembelaan terhadap kedudukan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang disudutkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10/1959 yang rasalistis.
Sesudah dibebaskan, Pramoedya menerima tawaran menjadi redaktur rubrik surat kebudayaan kabar Bintang Timur, serta mengajar mata kuliah Kesusastraan Indonesia dan Sejarah Indonesia Modern di Universitas Res Publica.
Dia juga mengajar di Akademi Sedjarah Ranggawarsita dan Akademi Sastra Multatuli.
Karya-karyanya dalam bentuk biografi (Panggil Aku Kartini Sadja), cerita bersambung (Larasati dan Gadis Pantai), polemik, esai bersambung, hingga makalah ilmiah secara teratur terbit di rubrik kebudayaan “Lentera” yang diasuh Pramoedya bersama Rukiah Kertapati.
Sesudah Gerakan 30 September 1965 digagalkan, Pramoedya ditangkap dalam penyerbuan massa ke kediamannya pada 13 Oktober 1965.
Delapan manuskrip yang belum selesai termasuk kreasi dan dibakar bersama-sama koleksi lima ribu buku di perpustakaan pribadinya.
Selama empat tahun berikutnya, Pramoedya beberapa kali mengalami transfer lokasi terpencil (Penjara Salemba, Tangerang, dan Nusa Kambangan) sebelum diberangkatkan bersama 800 orang tahanan politik ke Pulau Buru pada 16 Agustus 1969 dengan kapal “ADRI XV”.
Kerja paksa membuka hutan dengan peralatan seadanya, membuka sawah, serta membangun infrastruktur jalan dan jembatan di bawah ancaman bedil, menjadi pekerjaan harian Pramoedya sebagai tahanan politik, hingga mendapatkan izin Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal. Soemitro, untuk kembali melakukan pekerjaan tulis-menulis.
Dalam keterbatasan alat tulis dan persediaan kertas, Pramoedya membaca ulang cerita-cerita lisan yang dia tuturkan sebelum tidur kepada teman-teman sesama siswa.
Tidak kurang dari delapan naskah yang dia lahirkan dalam batasan tersebut, antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, Mangir, Di Atas Lumpur, dan dokumentasi Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
Naskah-naskah yang sudah selesai diketik kemudian digandakan dan disembunyikan sampai Pramoedya menemukan celah menyelundupkannya keluar dari Buru dengan bantuan biksu dan biarawati Katolik yang melakukan kunjungan secara berkala untuk memberikan pelayanan rohani dan konseling untuk para pembela politik.
Tidak hanya menulis roman, Pramoedya memanfaatkan izin menulis ini untuk mengirimkan surat kepada keluarganya, serta mencatat kematian tahanan politik dari 23 unit tahanan di Pulau Buru.
Pramoedya menerima surat pernyataan tidak terlibat G30S pada 12 November 1979, dan kembali ke pelukan keluarganya pada 21 Desember 1979 setelah berpisah selama 14 tahun.
Dia merintis kembali kepengarangannya yang vakum dengan mendirikan penerbit Hasta Mitra bersama Hasjim Rachman dan Joesoef Isak, dan menerbitkan Bumi Manusia untuk pertama kali pada bulan Agustus 1980.
Sambutan meriah terhadap penerbitan buku ini ditandai dengan animo pembaca yang sangat tinggi dan cetak ulang lima kali dalam waktu kurang dari satu tahun.
Namun, pada tanggal 29 April 1981, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan larangan terhadap Bumi Manusia dan sekuel Anak Semua Bangsa karena dianggap “menyebarluaskan marxisme-leninisme.”
Sebagian eksemplar kedua buku tersebut ditarik dari peredaran dan dihancurkan, sementara sebagian lainnya digandakan dan dijual secara sembunyi-sembunyi.
Beruntung, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sempat diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan membawakan nama Pramoedya ke panggung kesusastraan dunia.
Pramoedya menerima kenyataan tersebut dalam kebebasan sebagai tahanan kota dan tahanan negara yang tidak dapat membela diri dan tidak dapat memberikan hak jawab atas berbagai tuduhan yang ditujukan padanya.
Buku-buku yang diterbitkan Hasta Mitra berkali-kali dilarang dan diberangus, meski pada saat yang sama, nama Pramoedya berkali-kali masuk daftar pendek penerima Penghargaan Nobel untuk Kesusastraan dari Akademi Swedia.
Baru pada tahun 1995, Pramoedya menerima Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Kesusastraan, dan Komunikasi Kreatif karena karya-karyanya yang berkontribusi pada pencerahan masyarakat Indonesia tentang periode kebangkitan nasional.
Pramoedya menerima kembali hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia pada tahun 1999, setelah melewati sekurang-kurangnya 34 tahun tersingkir, perampasan kebebasan, dan pemberangusan atas karya-karyanya.
Berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri yang kemudian diterima. (HS-08)