HALO SEMARANG – Kuota pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) dari pemerintah pusat yang telah habis menjadi ancaman yang serius di industri properti. Padahal industri properti dinilai menjadi salah satu dari industri, selain pariwisata dan infrastruktur yang mampu menggerakkan perekonomian sampai ke pelosok tanah air secara massif. Sehingga persoalan itu ditanggapi DPD Real Estate Indonesia (REI) Jateng yang meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PUPR dan Kementrian Keuangan RI, untuk menambah kuota sebanyak 140 ribu unit untuk kebutuhan rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tujuannya agar program pemerintah yang akan membangun 1 juta rumah bisa berjalan dengan baik.
“Dari program 1 juta rumah dari pemerintah, REI mendapatkan sekitar 250 ribu unit rumah, khususnya rumah MBR. Sejak dua bulan ini, akad kepemilikan rumah subsidi terpending, karena ada permasalahan tersebut. Kalau ini tidak segera direspon oleh pemerintah pusat, tentu pengembang akan kerepotan,” ujarnya, usai acara pelantikan pengurus Komisariat REI Kota Semarang dan peresmian pembukaan kantor REI Komisariat Kota Semarang di Ruko Green Sambiroto Tembalang, Rabu (11/9/2019).
Sampai saat ini, lanjut Priyanto, pengajuan dari DPP REI itu kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Menteri Keuangan sampai sekarang belum juga memperoleh persetujuan. Namun pemerintah mengalihkan kepemilikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan skema bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2TB).
“Intinya masyarakat akan dilihat dari kemampuan menabung, bisa membayar kredit pemilikan rumah (KPR), dan memiliki endapan tiga kali angsuran di tabungannya. Adapun target dari skema tabungan ini sebanyak 12 ribu unit. Tapi skema ini belum berjalan selama dua bulan terakhir ini. Sebetulnya bila dilihat sekilas skema ini menyenangkan, pemerintah akan membantu sebesar Rp 40 juta untuk setiap debitur,” terangnya.
Usaha lain dari DPD REI, kata Priyanto, solusinya yakni dengan menghubungi pihak salah satu perbankan untuk bisa memberikan kredit rumah yang lebih murah, dengan bunga sebesar 7,8 persen sampai Oktober 2019. Lalu bunga sebesar 8,8 persen selama dua tahun, disesuaikan dengan besaran bunga bank yang berlaku.
“Semoga ada perubahan kebijakan yang berpihak pada pengusaha maupun masyarakat yang membutuhkan perumahan,” katanya.
Sementara, salah satu pengembang perumahan Bukit Graha Asri, Sunatha Liman Said mengatakan, dengan dipendingnya pencairan pembiayaan FLPP khusus rumah MBR, mempengaruhi jumlah transaksi bisnis properti. Sejak dua bulan terakhir, belum ada transaksi yang masuk untuk tipe MBR.
“Kadang rekan-rekan pengembang yang sudah disetujui bank, namun belum bisa cair untuk pendanaannya. Saya khawatir kalau masalah ini tidak segera direspon pemerintah justru memberikan dampak negatif,” imbuh pria yang juga pengurus DPD REI Jateng itu.
Sedangkan rumah MBR yang telah dibangun di Jawa Tengah, lanjut Sunatha, ada sekitar 4-7 ribu unit rumah MBR.
Namun hal ini tidak bisa akad lantaran belum adanya kejelasan terkait tambahan kuota FLPP.
“Saat ini kami masih menunggu tambahan kuota, dan ditakutkan ke depannya pengembang tak bisa membayar kredit pembangunan ke bank dan efeknya kredit bermasalah perbankan akan meningkat,” kata Sunatha yang juga komisaris PT Alimdo Ampuh Abadi.(HS)