![](https://halosemarang.id/wp-content/uploads/2019/10/PicsArt_10-02-01.03.54.jpg)
HALO SEMARANG – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengancam pelemahan lembaga anti rasuah, setidaknya ada 26 titik kelemahan atau persoalan. Hal tersebut dilontarkan oleh Adnan Topan, Koordinator ICW, saat menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Umum “Kupas Tuntas UU KPK Selesaikan Dengan Diskusi, Tanpa Provokasi” di Kampus Unisbank, Mugas, Rabu (2/9/2019).
Ke-26 titik kelemahan dari revisi UU KPK, kata Adnan, dalam revisi tersebut ada salah satu pasal yang berisi pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum. Maka jika UU itu berlaku, akan mematikan KPK yang tidak bisa menangkap para koruptor.
“Lalu, terkait SP3 dapat dikeluarkan setelah penyidikan dan penuntutan tidak rampung dalam waktu 2 tahun, dapat mengeluarkan SP3. Ada kata ‘dapat’, yang bisa menimbulkan kontroversi karena tidak menimbulkan kepastian hukum. Sehingga kalau jadi revisi ini, maka KPK tidak bisa lagi menangani kasus besar seperti E-KTP. Yang prosesnya mulai pada tahun 2014 lalu, dan penyidikannya sampai sekarang belum rampung. Lalu ada dewan pengawas, kenapa dipilih presiden, eksekutif campur tangan, padahal lembaga independen,” ujarnya.
Dijelaskan Adnan, upaya pelemahan KPK oleh DPR, terkesan menggebu-gebu. Karena menurutnya KPK mulai menggangu konsolidasi elit politik dan pebisnis untuk mengekploitasi sumber daya alam publik. KPK juga mulai masuk ke wilayah korupsi politik.
“Apalagi KPK saat ini gencar panen tersangka, termasuk menetapkan DPO di kasus BLBI Samsul Nursalim,” paparnya.
Selain itu, ada survei bahwa faktor menghambat investasi, yang urutan pertama adalah korupsi. Sehingga narasi di balik seolah-olah KPK menghambat investasi.
“Kalau mau diubah UU KPK, apakah investor akan makin lari. Padahal kalau negara komitmen untuk memberantas korupsi, setelah ada KPK indeks persepsi korupsi Indonesia makin bersih,” katanya.
Safik Faozi, Rektor Unisbank Semarang mengatakan, pihaknya sepakat jika KPK dibentuk untuk menegakkan hukum, di saat aparat hukum lainnya tidak berdaya lagi. Karena dalam aliran konflik, produk UU didesain yang punya kekuasaan. “Sehingga dari sisi sistem peradilan pidana, dibentuklah UU korupsi dan UU KPK tersebut,” katanya.
Sementara, Edi Faisol Ketua AJI Semarang mengatakan, pihaknya menyesalkan sikap keamanan dalam menangani gelombang aksi demo mahasiswa yang menolak revisi UU KPK, RUKHP.
“Apalagi akhir-akhir ini ada 14 kasus wartawan yang dipukuli aparat saat meliput aksi demo mahasiswa. Hal ini tentu, ada oligarki aparat hukum dan kekuasaan yang muncul dan mulai membatasi media sebagai fungsi kontrol sosialnya,” katanya.(HS)