SUASANA ruang pertemuan di Quest Hotel Semarang, Sabtu (4/10/2025), mendadak riuh ketika seorang seniman sekaligus budayawan, Eko Tunas, melontarkan kalimat satirnya saat tampil dalam pertunjukan monolog. Ia menyebut koruptor tak lebih dari “begal, maling berdasi” yang cuma pandai mencuri uang rakyat dengan semangat bersama-sama atau “bagi-bagi roto”. Sindiran itu disambut tawa kecil, tapi sekaligus mengiris kesadaran tamu undangan yang hadir, praktik korupsi memang masih menjadi luka besar bangsa.
Monolog dari Eko Tunas tersebut membuka acara diskusi publik bertajuk “Urgensi RUU Perampasan Aset dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan” yang diselenggarakan PSI bekerja sama dengan salah satu anggota DPRD Jateng dari PSI, M Farchan, dan para seniman serta budayawan Kota Semarang.
Dari akademisi, praktisi hukum, politisi, hingga budayawan, semua hadir menyuarakan hal yang sama, negara butuh instrumen hukum yang lebih kuat untuk mengembalikan kekayaan yang dirampas koruptor.
Ketua Dewan Penasehat DPC Peradi Kota Semarang, Broto Hastono yang hadir sebagai pembicara diskusi publik tersebut, tak ragu menyebut RUU Perampasan Aset sebagai instrumen “sakti”. Ia menilai, hukum yang ada saat ini, seperti UU Tipikor dan UU TPPU, masih menyisakan celah.
“Kalau pelaku korupsi meninggal atau tidak ada jejak, instrumen yang ada terbentur. Tapi RUU Perampasan Aset ini bisa menembus batas negara, melacak harta yang disembunyikan. Sakti banget, susah bagi koruptor untuk sembunyi,” ujarnya dengan nada tegas.
Broto bahkan menyinggung sisi dilematis bagi profesi advokat yang kerap mendampingi tersangka korupsi. “Ada advokat yang dibayar dari aset haram itu. RUU ini bisa jadi pisau bermata dua,” tambahnya, mengingatkan koleganya di dunia hukum.
Sementara itu, Muhammad Farchan, anggota DPRD Jateng dari PSI, menekankan pentingnya dukungan publik, terutama generasi muda. Ia menyebut RUU ini sebagai kunci mengembalikan aset hasil tindak pidana untuk kemakmuran rakyat.
“Korupsi itu merampas hak rakyat. RUU Perampasan Aset hadir agar negara bisa mengambil kembali hak itu. PSI pun membawa kepentingan politik di sini, karena ini janji kampanye kami sebagai kader salah satu partai yang konsen terhadap isu korupsi,” ungkapnya blak-blakan.
Diskusi yang dipandu praktisi hukum Bangkit Mahanantyo ini pun terasa lengkap, ada paparan hukum yang serius, ada dorongan politik, hingga kritik budaya yang tersaji dalam pertunjukan monolog. Namun benang merahnya tetap sama, publik mendesak DPR RI segera mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Seperti yang diingatkan Eko Tunas dalam penutup monolognya, ada bahaya lain jika RUU ini terus macet di Senayan: frustrasi rakyat.
“Sekarang demam gaya hidup hedonisme yang tersaji di hadapan kita, yang dilakukan oleh pejabat yang kita pilih sebagai wakil rakyat. Lawannya adalah anarkisme. Jangan sampai mahasiswa dan masyarakat yang justru bergerak melakukan perampasan aset dengan caranya sendiri, jika praktik hedonisme di kalangan pejabat terus berlanjut,” ujarnya, kali ini dengan nada peringatan.
Di akhir forum, suasana meninggalkan kesan jelas, desakan itu bukan sekadar wacana, melainkan alarm keras dari Semarang untuk Jakarta. Bahwa keadilan butuh alat, dan RUU Perampasan Aset adalah senjata yang dinanti.(HS)


