in

Cuaca Nakal di Kota Semarang

ilustrasi prakiraan cuaca.

MATAHARI bersinar cerah di Kota Semarang siang tadi. Tiba-tiba, malam menjelang, langit mengguyur kota dengan hujan. Inilah cuaca Kota Semarang akhir-akhir ini, sebuah drama komedi alam dengan plot twist yang lebih tak terduga daripada sinetron primetime.

Oktober, yang seharusnya jadi puncak musim kemarau, malah seperti pesta cuaca liar, siang hari bak oven raksasa, malam hari jadi ajang uji coba payung baru.

Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa pekan ketiga September 2025 mencatat suhu maksimum di Semarang mencapai 33-35 derajat Celsius, cukup untuk membuat keringat Anda mengalir seperti air terjun mini.

Namun, saat malam tiba, hujan dengan intensitas tinggi, terutama di daerah seperti Tembalang atau Pedurungan. Ini bukan Oktober biasa, di mana curah hujan rata-rata seharusnya di bawah 100 mm sebulan.

BMKG mencatat bahwa pola “kemarau basah” ini, dengan hujan sporadis di tengah musim kering, adalah efek dari perubahan iklim yang semakin nyata. Kota yang terkenal dengan kasus pembunuhan ASN Bapenda Kota Semarang di Marina yang masih misterius, kini punya misteri baru: cuaca yang lebih moody daripada remaja yang baru putus cinta.

Siang hari di Semarang seperti dipanggang di atas tungku bakaran. Suhu 35 derajat bikin warga merasa seperti sate ayam yang lupa dibalik saat berkendara sepeda motor di Jalan Majapahir, apalagi dengan kelembapan udara siang yang berkisar 60-70%, membuat udara terasa lengket.

Pedagang es teh jumbo di Pasar Johar laris manis, tapi petani di pinggiran kota seperti Rowosari, Kecamatan Tembalang mengeluh sawah kering seperti kerupuk yang lupa digoreng.

Lalu, malam tiba, dan langit seolah membuka keran raksasa, mengguyur jalanan hingga genangan air muncul di Jalan Pahlawan atau Gajahmada. Data BMKG menyebutkan bahwa hujan ekstrem ini bisa disertai angin kencang.

Fenomena cuaca tak menentu ini bukan sekadar lelucon alam. BMKG memperingatkan bahwa perubahan iklim global mempercepat transisi pancaroba, dari kemarau ke musim hujan, dengan efek samping seperti banjir kilat dan suhu ekstrem.

Semarang, dengan posisinya di pesisir utara Jawa, rentan terhadap banjir rob dan erosi pantai, yang makin parah dengan hujan tak terduga. Pada 2025, BMKG memprediksi kondisi iklim Jawa Tengah cenderung normal tanpa El Nino kuat, tapi pola hujan sporadis ini tetap jadi ancaman.

Pedagang di Pasar Peterongan, misalnya, mengeluh dagangan basah kuyup saat hujan tiba-tiba, sementara pengusaha kafe di Simpang Lima kehilangan pelanggan karena panas siang yang bikin orang malas keluar.

Kita yang berkontribusi pada emisi karbon dengan mobil dan AC, kini jadi mainan saat cuaca “balas dendam” dengan caranya sendiri.

Tapi jangan khawatir, warga Semarang punya semangat kuat. Lihat saja adaptasi, pagi bawa payung lipat, siang cari tempat berteduh di dalam mal ber-AC, malam siap-siap sandal jepit untuk hadapi genangan.

Cuaca Semarang seperti sahabat yang janji datang jam 5, tapi muncul jam 9 dengan alasan “otw”. Tapi di balik tawa, ada fakta pahit: perubahan iklim bukan lagi ancaman jauh di kutub, melainkan drama harian di halaman rumah kita.

Permukaan laut yang naik dan suhu global yang meningkat membuat kota seperti Semarang jadi panggung eksperimen cuaca tak terduga.

Cuaca tak menentu ini seperti hidup, kadang cerah, kadang basah, tapi selalu ada cara untuk bertahan. Warga Semarang, dengan jiwa santai, sudah menunjukkan ketangguhan mereka.

Mulai dari hal kecil: tak ada lagi layanan kantung plastik di minimarket, tanam pohon di gang sempit, atau sekadar cek aplikasi BMKG sebelum ke Pasar Peterongan.

Jadi, meski matahari membakar atau hujan mengguyur, Semarang tetap kota yang hangat, baik di udara maupun di hati. Kita hanya bisa memaklumi menghadapi langit yang moody ini, sambil berbisik, “Cuaca, kamu mirip pacarku yang sedang datang bulan, kerap marah tak tau sebab”.(HS)

Momen Nawal Yasin Sambangi PAUD Semai Jepara, Senam Bareng Siswa Hingga Bagikan Alat Sekolah

“Urip Mung Mampir Macet”