
HALO SEMARANG – Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang, Joko Santoso mendorong adanya aturan terkait fungsi pengawasan terhadap pengambilan Air Bawah Tanah (ABT) di Kota Semarang. Dikarenakan pengambilan air bawah tanah yang tak terkendali dapat mengakibatkan dampak yang besar. Salah satunya penurunan permukaan tanah, yang di Kota Semarang tiap tahunnya mencapai 10-15 cm.
Dikatakan Joko Santoso, dengan adanya aturan pengawasan yang jelas, akan meminimalisir dampak buruk atas eksploitasi air bawah tanah.
“Memang yang bertanggung jawab dalam pengeluaran izin dan pengawasan ada di PSDA Provinsi Jateng. Tetapi yang kena dampaknya Kota Semarang. Untuk itu, akan kami sampaikan lewat forum rapat paripurna agar pemerintah kota juga ada kewenangan pengawasan dan pemberian sanksi terhadap pengambilan ABT ilegal di wilayah Kota Semarang,” kata Joko Santoso yang juga ketua Fraksi Gerindra DPRD Kota Semarang, Senin (17/2/2020).
Dijelaskan Joko Santoso, pemberian izin pengambilan ABT yang berada di Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, menjadi kendala dalam pengawasan di pemerintah kota.
Menurut Joko Santoso, dampak lingkungan dari pengambilan ABT, sudah sangat parah. Apalagi di daerah zona merah seperti Semarang Utara dan Genuk.
“Saat ini ABT banyak dipakai di pabrik-pabrik atau industri, seperti daerah pelabuhan dan perhotelan yang banyak kebutuhan airnya,” kata dia.
Persoalan lain, jangkauan jaringan PDAM Tirta Moedal juga belum menjangkau seluruh wilayah Kota Semarang. Sehingga di kawasan yang tak terjangkau jaringan PDAM, masyarakatnya banyak yang melakukan pengambilan air bawah tanah dengan membuat sumur sintetis tanpa izin.
“Selain itu banyak juga pengembang perumahan yang melakukan pengeboran air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Padahal pengambilan sumur bawah tanah harus melalui izin,” tegasnya.
Sementara anggota DPRD Kota Semarang, Suharsono menyebut, ada sekitar tujuh wilayah di Kota Semarang yang tidak dibolehkan ada pengeboran tanah untuk air sumur bor maupun air artesis.
Daerah zona merah itu di antaranya wilayah pesisir seperti Semarang Utara, sebagian daerah di Kecamatan Tugu, Genuk, Semarang Barat dan sebagian wilayah Gayamsari. Pemerintah diminta tegas menolak permohonan perizinan untuk aktivitas pengambilan air tanah di wilayah-wilayah tersebut.
”Pengambilan air tanah mempercepat penurunan muka tanah, sehingga memang perlu upaya untuk menanggulangi, salah satunya dengan membatasi pengambilan air tanah,” kata Suharsono.
Wilayah terdampak salah satunya di Semarang Utara dengan luas 1.140 hektare. Sekitar 384 hektare di antaranya terjadi di Kelurahan Tanjungmas atau yang terluas dibanding kelurahan lain yang ada di kecamatan ini.
Menurut dia, upaya meminimalisasi pengambilan air tanah melalui sumur bor harus diimbangi dengan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Langkah ini diperlukan untuk mencukupi kebutuhan warga akan air bersih, terutama pada daerah- daerah yang selama ini belum terlayani oleh PDAM.
”Sekarang masih dikembangkan penyediaan SPAM di Semarang Barat, Pudakpayung dan Mijen. Paling tidak diperkirakan pada 2021 mendatang seiring rampungnya proyek itu, 80 persen masyarakat di kota ini sudah teraliri air bersih,” jelasnya.
Dia menilai, pada jangka waktu tertentu seluruh wilayah Semarang sudah tidak dibolehkan lagi ada aktivitas pengambilan air tanah. Persoalan lingkungan apapun, tandas dia, harus serius ditangani mulai dari sekarang.
”Paling tidak mulai lima tahun ke depan harus nol aktivitas pengambilan air tanah. Jadi tidak sekadar boleh atau tidak boleh, tetapi perlu memikirkan ke depan,” imbuh Suharsono.(HS)