in

Di Altar Sembahyang Gedung Rasa Dharma Semarang, Gus Dur Dihormati sebagai “Bapak Tionghoa”

Sinci Gus Dur, dipasang bersama dengan sinci tokoh Tionghoa yang berjasa di Altar Gedung Rasa Dharma, di Gang Pinggir, kawasan Pecinan Semarang, Senin (12/8/2019).

 

UNTUK memberikan penghormatan kepada leluhur, warga Tiong Hoa biasanya membuat sinci yang diletakkan di altar sembahyang.
Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar penghormatan. Nama-nama yang tercantum dalam sinci akan selalu didoakan oleh mereka yang menghormatinya.

Yang menarik, di sebuah gedung pertemuan yang berada di Jalan Gang Pinggir 31 Semarang, terdapat sinci bertuliskan nama KH Abdurrahman Wahid.

Ya, nama itu memang nama Presiden ke-4 Republik Indonesia yang akrab disapa Gus Dur.
Sinci atau papan Gus Dur itu berada di altar di gedung Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma, Gang Pinggir, Kawasan Pecinan Semarang. Tempat Sinci Gus Dur berada di tengah-tengah 25 sinci lain dan bentuknya berbeda, sehingga mudah terlihat.

Pegawai Gedung Pertemuan Rasa Dharma, Indriani atau Ling ling menceritakan bagaimana Sinci Gus Dur ada di sana karena Gus Dur dianggap merupakan Bapak Tionghoa Indonesia.

“Gus Dur di Indonesia dianggap bapaknya orang China (Tionghoa). Beliau menganggap semua orang sama, tidak membeda-bedakan,” katanya, saat ditemui di gedung Rasa Dharma, Senin (12/8/2019).

Penghargaan kepada almarhum Gus Dur sebagai bapak Tionghoa diberikan oleh Komunitas Tionghoa Semarang bulan Agustus tahun 2014 lalu. Saat itu pula Sinci Gus Dur dipasang.

“Untuk memasang ini sudah izin keluarga Gus Dur. Saat peresmian keluarganya juga datang,” ujar Ling- ling.

Menurut Ling Ling, masa pemerintahan Gus Dur menjadi angin segar bagi warga Tionghoa di Indonesia. Gus Dur menghilangkan diskriminasi kepada warga Tionghoa yang sebelumnya seperti memiliki “cap” dan susah mengurus berbagai dokumen.

Selain itu, berkat Gus Dur, kini perayaan tahun baru Imlek boleh dirayakan tebuka karena sebelumnya Imlek hanya boleh dirayakan di dalam rumah.

“Dulu zaman Orde Baru, perayaan Imlek hanya boleh di dalam rumah, saat Gus Dur Imlek boleh dirayakan,” tandasnya.

Sinci, lanjut Ling Ling, merupakan salah satu piranti untuk melacak silsilah karena di bagian belakang terdapat nama-nama leluhur sesuai marga. Bahkan konon, kata dia, dari silsilahnya leluhur Gus Dur adalah orang Tinghoa, yakni dari Marga Tan.

“Sehingga Gus Dur diangkat menjadi Bapak Tinghoa saat dia berkunjung ke Semarang,” katanya.

Sembahyang di altar untuk menghormati leluhur biasanya dilakukan tanggal 1 dan 15 kalender China. Sinci Gus Dur sama dihormatinya seperti sinci yang lain. Dengan adanya Sinci Gus Dur di sini, setiap haul Gus Dur,  digelar sembahyangan untuk memperingati Haul Gus Dur,  pada 30 Desember.

Sementara, tokoh muda Tinghoa Kota Semarang, Sunatha Liman Said mengatakan, sosok Gus Dur bagi dia adalah tokoh negarawan yang pluralis, patut dicontoh dan punya pribadi yang baik. Di mana juga punya jasa besar bagi umat beragama di Indonesia, khususnya agama Kong Hu Chu.

“Yang kini sudah diakui sebagai agama resmi negara, selain lima agama yang sudah ada. Tentunya umat Kong Hu Chu berterima kasih kepada beliau,” katanya.

Sunatha menambahkan, selain itu, Gus Dur sosok yang humanis, tidak membeda-bedakan agama satu dengan agama lainnya. Gus Dur menurutnya juga sangat menjunjung tinggi pluralisme dan kesatuan. Dia ingin etnis Tinghoa setara dengan suku lain tanpa adanya satu perbedaan atau pembedaan, sesuai dengan apa semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika.(HS)

SMP 30 Semarang Bagikan Hewan Qurban dengan Kreneng

Ganjar Berharap Kota Lama Semarang Bebas dari Kendaraan Bermotor