HALO SEMARANG – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Habib Syarief Muhammad menegaskan pentingnya konsistensi pemerintah, dalam menjalankan ketentuan mandatory spending 20 persen anggaran pendidikan di APBN mulai 2026.
Hal itu dalam rangka menjalankan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan 20 persen dari APBD.
Dia juga menegaskan bahwa pemerintah harus melaksanakan keputusan MK, tentang pembebasan biaya pendidikan dasar (SD dan SMP) di sekolah negeri maupun swasta.
Karena itu, Habib Syarief menegaskan kepastian anggaran menjadi jalan keluar atas beragam persoalan kesejahteraan guru, terutama yang berada di bawah Kementerian Agama.
Hal itu disampaikan Habib Syarief, dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
“Kalau 20 persen mandatory spending bisa komitmen, bisa konsisten dijalankan oleh pemerintah, saya kira ini menjadi solusi yang terbaik,” ujar Habib, seperti dirilis dpr.go.id.
Habib menyoroti putusan MK yang dalam tiga tahun terakhir mengeluarkan enam keputusan terkait pendidikan.
Dua di antaranya disebut sangat krusial, yaitu kewajiban pemenuhan anggaran 20 persen serta pemberlakuan wajib belajar 13 tahun yang digratiskan.
“Sekolah-sekolah swasta banyak mempertanyakan kepada kami, kapan akan diberlakukan keputusan MK itu,” lanjut Politisi Fraksi PKB ini.
Ia juga menyoroti persoalan kesejahteraan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang mengajar di sekolah umum.
Kasus terbaru, kata Habib, terjadi pada 2025 ketika guru PAI tidak menerima gaji ke-13 dan THR karena ketidaksesuaian kebijakan antar kementerian.
“Kementerian Pendidikan tidak menyediakan itu untuk guru PAI. Kemenag mengusahakan, namun jawaban Kemenkeu sangat terlambat. Baru Februari 2025 keluar, akhirnya guru-guru PAI tidak mendapatkan gaji ke-13 dan THR,” tegasnya.
Tumpang tindih kewenangan antara Kemendikdasmen, Kemenag, dan pemerintah daerah disebutnya menyebabkan lempar tanggung jawab.
“Kemenkeu merekomendasikan itu menjadi tanggung jawab Pemda, Pemda mengelak semuanya. Ini terjadi lempar tanggung jawab,” ungkapnya.
Selain itu, Habib meminta perhatian khusus tentang sertifikasi guru TK yang dinilai sulit memenuhi syarat karena jumlah murid kecil dan kebutuhan dua guru per kelas.
“Tidak heran kalau guru TK sementara ini paling banyak yang belum mendapatkan sertifikasi,” ucapnya.
Di sisi regulasi, ia menegaskan Komisi X DPR RI tengah mengkaji intensif perubahan UU Sisdiknas bersama UU Guru dan Dosen. Termasuk di dalamnya isu perlindungan guru dari perundungan dan kekerasan.
“Persoalan pendidikan itu sangat kompleks. Termasuk kasus-kasus perundungan terhadap guru, ini akan menjadi krusial,” jelasnya.
Habib juga menolak penggunaan frasa standar hidup minimum dalam pengaturan tunjangan guru. Ia menilai profesi guru tidak bisa ditempatkan sebagai pekerjaan biasa.
“Guru itu profesi yang sangat mulia. Tidak usahlah digunakan standar hidup minimum. Di atas standar hidup minimum,” tegasnya.
Menutup keterangannya, ia menyoroti diskriminasi yang masih dirasakan guru madrasah.
“Perlakuan yang diskriminatif itu sesuai dengan kenyataan. Perlu ada terobosan hukum, sehingga perlakuan pemerintah yang sudah berjalan puluhan tahun bisa dijadikan pasal penebus dosa,” kata Habib. (HS-08)


