in

Warga di Kedungmundu dan Sendangguwo, Nyaman Hidup Berdampingan dengan Makam China Kuno

Makam Tiongkok yang ada di wilayah Kedungmundu, Semarang.

SEBELUM tahun 1980an, daerah Kedungmundu, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang merupakan wilayah hutan dan hanya ada beberapa kampung di wilayahnya.
Kampung-kampung tersebut belum seramai sekarang, dan masih tersebar dengan jarak antarkampung yang dipisahkan hutan dan area perkebunan. Kampung-kampung lama itu seperti Kedungmundu, Rogojembangan, Ngemplak, Tlumpak dan Sendangguwo dan beberapa wilayah lain.

Pada tahun 1797, oleh VOC kawasan Kedungmundu dan sekitar sempat digunakan untuk area pemindahan makam Tionghoa dari wilayah Gombel.

Dalam masa pemerintahan Hindia Belanda itu, untuk kebutuhan pembangunan jalan dan permukiman, makam Tionghoa yang sebelumnya berada di wilayah Candi dipindah ke lereng perbukitan Cinde, Kinibalu hingga Sendangguwo.

Dipilihnya perbukitan sebagai pemakaman, dalam budaya Tionghoa dan ilmu fengshui, bukit dengan spesifikasi tertentu membawa pengaruh yang baik bagi kehidupan keluarga yang ditinggalkan.

Di era itu wilayah Kedungmundu ini menjadi daerah yang nyaris tak tersentuh peradaban. Selain karena kesan angker karena merupakan area pemakaman, akses jalan ke Kedungmundu juga tak begitu baik.

“Dulu sebelum tahun 1990 Kedungmundu masih sepi. Bahkan ada yang menganggap wilayah ini wilayah gelap, dan masih banyak aksi kejahatan karena daerahnya sepi,” kata Sumaryanto, warga Sambiroto, Tembalang.

Namun dalam perkembangannya, setelah pembangunan Jalan Raya Kedungmundu sekitar tahun 1990, wilayah Kedungmundu dan sekitar mulai “terbuka”. Tempat usaha dan pertokoan mulai banyak dibangun di sekitar Jalan Raya Kedungmundu.

Seiring berjalannya waktu, banyak pula yang kemudian bermukim di sana.

Dengan kebutuhan permukiman masyarakat Kota Semarang yang tinggi, beberapa daerah di sekitar Kedungmundu yang dulunya masih wilayah hutan kini berubah menjadi area permukiman. Khususnya mulai akhir tahun 1990an, daerah-daerah ini berubah menjadi permukiman padat, tak terkecuali wilayah Kedungmundu.

Susilo (40), warga Sendangguwo, Kecamatan Tembalang mengatakan, paska Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, tanah makam di wilayah Sendangguwo dan Karanggawang yang tidak terawat ikut diserbu warga untuk didirikan bangunan rumah dan kios.

Tak hanya itu, warga pun mengurus hak kepemilikan atas tanah yang ditempatinya.
Bahkan kini di perkampungan Sendangguwo, ada beberapa rumah yang di dekatnya masih terdapat kuburan Tionghoa. Dan pada waktu-waktu tertentu makam tersebut diziarahi keluarganya beserta membawa makanan yang dibagikan kepada warga sekitar.

Warga di sana pun seakan sudah terbiasa hidup berdampingan dengan makam kuno. Bahkan menurut informasi, ada beberapa warga yang kerap menemukan tulang belulang manusia dan benda kuno lainnya saat melakukan pembangunan atau renovasi rumah mereka.

Menurut data yang ada, tanah makam Kedungmundu sendiri secara administratif berada di wilayah Kelurahan Tandang, Kedungmundu, Sendangguwo dan Sambiroto, Kecamatan Tembalang. Pemakaman umum yang dikelola masyarakat sendiri ada tiga tempat, yakni Gunung Alap-alap, Kemuning Arum dan Banteng Loreng.

Tingginya kebutuhan perumahan di Kota Semarang membuat sejumlah warga yang tak mampu membeli rumah terpaksa nekat membangun rumah di kawasan makam. Berbagai alasan dikemukakan warga demi mendapatkan rumah layak. Hal ini terjadi karena harga rumah semakin mahal dan sulit dijangkau.

Di Kampung Karanggawang Lama, Kelurahan Sendangguwo, Tembalang contohnya, makam etnis Tionghoa yang ada di wilayah tersebut kini telah beralih fungsi menjadi permukiman warga.

Ratusan rumah berdiri di antara Bong China, istilah untuk area pemakaman Tiongkok. Entah mulai kapan kawasan makam Tionghoa atau Bong China tersebut beralih fungsi.

Shodikin, warga RW I, Kelurahan Sendangguwo mengatakan, tak terhitung berapa luas lahan pemakaman China yang ada di Kelurahan Sendangguwo yang kini berubah menjadi permukiman. Selain Kelurahan Sendangguwo, makam serupa juga bisa temui di wilayah Kelurahan Kedungmundu.

Siti Nur (32) warga Kedungmundu mengaku sudah tiga tahun tinggal berdampingan dengan batu nisan. Di depan rumahnya pun bahkan terdapat dua nisan. Nisan juga ada di samping dan belakang rumahnya.
Dia mengaku tidak takut harus tidur di antara batu nisan.

“Tidak pernah ada kejadian aneh selama tinggal di kediamannya,” tuturnya.

Status tanah rumahnya pun bukan hak milik, melainkan status sebagai pengguna atau penggarap. Sebelum mendirikan rumah, pihaknya mengaku sudah izin kepada ahli waris dan diperbolehkan untuk tinggal di sana.(HS)

KPU Tetapkan 50 Calon Terpilih Anggota Dewan Kota Semarang, Inilah Nama-namanya:

Pasar Kambing Semarang, Pernah Jadi Salah Satu Sentra Jual-beli Kambing di Jateng