
WARGA Kota Semarang dan sekitar yang pernah masuk ke dalam Stadion Diponegoro di Jalan Kimangunsarkoro, Kota Semarang, tentu mengetahui, bahwa di stadion tersebut selain memiliki lapangan sepak bola juga terdapat sebuah lintasan balap sepeda atau velodrome yang desainnya modern.
Meski sekarang kondisinya kurang terawat karena banyak lintasan yang retak-retak, namun secara desain velodrome ini sebenarnya memiliki kualitas yang baik.
Sanitasi dan tribun penontonnya didesain sangat baik, bahkan ada sentuhan modern. Bahkan dulu, stadion yang difungsikan untuk beberapa cabang olahraga ini dulunya menjadi aalah satu stadion dengan fasilitas terlengkap di Indonesia.
Ada kamar mandi dan ruang ganti, empat tower lampu dengan kekuatan 32.00 watt, kolam renang di depan stadion yang kini sudah dihancurkan, serta fasilitas lain seperti tribun penonton dengan kapasitas 1.000 tempat duduk.
Ditilik dari sejarahnya, velodrome ini sebenarnya merupakan velodrome yang dibangun pertama kali di Semarang, dan konon jadi velodrome tertua di Asia Tenggara.
Lintasan balap sepeda tersebut telah ada sejak era Kolonial Belanda, atau sekitar tahun 1934.
Meski tak ada catatan sejarah pasti, waktu itu, khususnya Kota Semarang memang menjadi pusat kegiatan balap sepeda di Indonesia. Maka oleh arsitek Belanda Ooiman dan Van Leuwen, merancang dan mendirikan sebuah velodrome yang digunakan untuk menggenjot prestasi atlet balap sepeda di Semarang dan sekitar.
Saat halosemarang.id mengunjungi velodrome Diponegoro, Senin (29/7/2019), kondisinya kini memang kurang terawat. Meski masih digunakan oleh atlet balap sepeda lokal untuk latihan, namun banyak lintasan yang telah pecah sehingga membahayakan pembalap jika tak hati-hati saat balapan di sana. Velodrome itu pun kini sangat jarang digunakan untuk kejuaraan resmi, karena memang secara kelayakan tak memenuhi standar.
Sedangkan di dalam stadionnya sendiri kadang dipakai untuk event seperti konser musik, sepak bola usia dini, dan lainnya.
Ketua Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) Kota Semarang, Adi Wibowo mengatakan, velodrome dibangun pada zaman pemerintahan Belanda, dan menjadi sejarah cikal bakal lahirnya olahraga balap sepeda di Indonesia.
Bahkan menurutnya, organisasi ISSI sendiri dulunya terbentuk di Semarang.
“Hal ini terbukti ketika PON II/1951 yang berlangsung di Jakarta, balap sepeda termasuk cabang olahraga yang diperlombakan. Ikatan Sport Sepeda Indonesia atau disingkat ISSI baru didirikan tepat pada hari peringatan Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei 1956 di Kota Semarang, sekaligus terbentuk Panitia Penyelenggara Kongres dan Kejuaraan Nasional yang pertama,” katanya, Senin (29/7/2019).
Di Jawa Tengah sejak semula memang menjadi pusat kegiatan olahraga balap sepeda tanah air. Terutama di Kota Semarang dengan Ikatan Sport Sepeda Indonesia, merupakan sumber inspirasi kelahiran ISSI. “Hal ini bertitik tolak atas keinginan untuk mempersatukan perkumpulan yang ada di seluruh Indonesia, agar pembinaan balap sepeda secara nasional dapat lebih mudah dilakukan. Gerakan ini didahului dengan lahirnya ROSBADT, kependekan dari Rombongan Sepeda Balap Djawa Tengah yang dibentuk di Semarang,” jelasnya.
Sebelum itu, lanjut Adi, pada tahun 1951, beberapa daerah memang sudah memiliki perkumpulan-perkumpulan balap sepeda.
“Kemudian perkumpulan-perkumpulan ini sepakat untuk membentuk Ikatan Sport Sepeda Indonesia atau disingkat ISSI pada tanggal 20 Mei 1956 di Kota Semarang,” katanya.
Namun sayangnya, meski memiliki latar belakang sejarah yang panjang, velodrome Diponegoro kini tak lagi terawat dengan baik. Banyak kendala untuk perbaikan, yang akhirnya bangunan tersebut kini kurang terawat dan tak maksimal pemanfaatannya.
“Harapannya, pemkot dan Kodam IV/Diponegoro bisa saling berkomunikasi untuk melakukan pembenahan velodrome. Sehingga bisa dijadikan sarana untuk menciptakan atlet balap sepeda dari Kota Semarang dan Jateng. Dan bisa lebih mempopulerkan olahraga balap sepeda sendiri,” imbuhnya.
Diterangkan Adi, velodrome ini pernah sekali direnovasi dengan pelapisan lintasan pada tahun 1980an.
Namun perbaikan tak menyasar sudut lain, seperti pada bagian tribun penonton dan fasilitas lainnya.
Saat ini, kata dia, velodrome sudah ditetapkan sebagai cagar budaya yang tidak bisa dihilangkan atau digusur begitu saja.
“Saat ini memang kurang terawat. Karena untuk melakukan renovasi velodrome belum bisa dilakukan, karena masih terkendala aset. Saat ini Stadion Diponegoro dikelola oleh Kodam IV/Diponegoro, kami pernah mengajukan permohonan pembenahan kepada pemerintah kota namun terkendala karena bukan aset Pemkot Semarang. Pemkot pun tidak bisa melakukan pembenahan, sedangkan Kodam sendiri tidak ada anggaran untuk perbaikan velodrome,” katanya.(HS)