
ASAL-USUL situs Watu Tugu yang berada di RT 10, RW 1 Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, hingga kini masih misterius. Selain dugaan sebagai tapal batas era kerajaan Majapahit dan Pajajaran, keberadaan situs Watu Tugu (tidak termasuk candi yang dibuat pemkot di sebelahnya) itu juga disebut sebagai peninggalan Mataram Kuno.
Dugaan terkait fungsi Watu Tugu sebagai peninggalan zaman Mataram Kuno disampaikan oleh arkeolog Semarang, Tri Subekso. Dia menyebut situs Watu Tugu yang menjulang tinggi ke atas dengan bentuk menyerupai stupa atau caitya, yang berhubungan dengan agama Buddha. Situs yang berada di atas bukit dan memiliki tinggi sekitar empat meter itu, bahkan usianya diperkirakan lebih tua dari masa kerajaan Majapahit maupun Pajajaran.
“Diperkirakan usia Watu Tugu, sudah ada sejak pada Abad ke-8 sampai Abad ke-10 Masehi atau Era Hindu/Buddha,” katanya, Jumat (18/10/2019).
Menurut Tri, dari hasil hipotesa beberapa ahli, ada yang menyebut Watu Tugu ini dibangun ada hubungannya dengan tempat peribadatan atau pemujaan pada masa itu. Terutama interaksi antara masyarakat sekitar dengan para pendatang yang datang dari pantai utara.
“Memang kalau dilihat dari ciri-ciri di lokasi situs Watu Tugu saat ini berada, dulunya merupakan tepian laut, yang berada di atas tebing sebuah bukit. Jauh sebelum ada sawah dan pabrik seperti sekarang ini. Dulunya, sudah terbentuk permukiman kuno, sehingga dibangunlah sebuah situs ini untuk sarana peribadatan di sekitar permukiman sekaligus sebagai lambang penting pada masa itu,” imbuh Tri.
Sedangkan fungsinya sendiri, sebuah Caitya atau Stupa dalam agama Buddha, lanjut Tri, biasanya sebagai tempat pemujaan atau koleksi objek pemujaan, sehingga berfungsi sebagai altar. Secara etimologi, kata Cetiya atau Caitya dalam bahasa Sansekerta berarti gundukan tanah atau tumpukan bata yang berkaitan dengan makam.
“Atau juga tempat untuk peninggalan relik atau abu hasil kremasi Sang Buddha, biksu dan biarawan yang dikeramatkan dan dihormati. Dan tempat untuk meditasi menenangkan diri bersemedi maupun tempat perayaan penting dalam hidup Sang Buddha atau para biksu dan dalam penyebaran agama Buddha,” jelasnya.
Sedangkan di Tibet, sebutan bagi Cetiya atau stupa dinamakan Ch’Orten, yang bermakna wadah untuk persembahan dengan berbagai ukuran dan perlambangan. Bentuknya lebih langsing daripada Stupa yang umumnya lebih bulat. Ch’Orten memiliki banyak tingkat dengan bangun berlainan yang masing-masing membawa perlambangan khusus.
Dari sisi lokasi situsnya, kata Tri, jelas kawasan Watu Tugu pada masa lalu berada di tepi laut. Apalagi ada kabar dulunya pernah ditemukan jangkar kapal di bawah tebing Watu Tugu.
“Dulunya Semarang dikenal dengan sebutan Bukit Pragota. Menurut catatan Badan dan Perpustakaan Daerah Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, kawasan Bukit Pragota merupakan wilayah Mataram Kuno. Dan secara fisik sebagai bangunan kuno iya, namun fungsinya sebagai apa tentu perlu dikaji lagi,” katanya.
Candi Baru
Sebagai informasi, keberadaan situs Watu Tugu Semarang yang berada di RT 10, RW 1 Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang memang belum begitu banyak diketahui oleh masyarakat Semarang dan sekitarnya. Padahal benda peninggalan sejarah masa lalu tersebut memiliki hubungan sejarah dengan perkembangan Kota Semarang.
Meski memiliki sejarah penting, namun sayangnya pemerintah kota seakan tak memperhatikan keberadaannya, dan situs pun dibiarkan mangkrak tak terawat dengan baik. Akses untuk menuju lokasi belum representatif bagi wisatawan maupun pengunjung.
Selain itu, tidak ada papan penunjuk arah bahwa ada benda peninggalan sejarah berupa Watu Tugu.
Untuk sampai tempat ini, pengunjung harus sedikit jeli mencari petunjuk arahnya sendiri karena posisi Watu Tugu berada di dekat bukit yang ditutupi rerimbunan pohon yang saat ini telah menjadi perkampungan. Lokasi tepatnya, setelah dari Jalur utama Pantura, yaitu Jalan Walisongo KM 11, atau sekitar 2 KM dari kampus UIN Walisongo, dan 800 meter dari RS Tugurejo, jika dari arah Kaliwungu, Kendal menuju Semarang.
Mendekati lokasi Watu Tugu, terdapat jalan kecil yang dibuat warga untuk menuju akses ke atas bukit, sebelum naik tangga.
Watu Tugu sendiri menurut para ilmuwan memiliki sejarah panjang karena berkaitan dengan kekuasaan Majapahit. Tugu ini diperkirakan sudah ada sejak berabad-abad lalu. Situs yang memiliki tinggi pilar 2,30 meter dan puncak 1,10 meter ini ada yang mengatakan merupakan tugu batas antara kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia yaitu Majapahit dan Pajajaran.
Dan ada menurut sumber lain, menjelaskan lokasi Watu Tugu ini, dulunya merupakan dermaga atau pelabuhan. Karena di era tahun 1970-an sempat ditemukan sebuah jangkar kapal di sekitar Watu Tugu.
Sementara Candi Tugu yang ada di dekat Watu Tugu, merupakan bangunan tambahan yang dibangun Pemkot Semarang pada tahun 1980an, dengan tujuan memperindah situs Watu Tugu. Namun sayangnya langkah itu seakan malah menghilangkan nilai sejarah Watu Tugu sendiri. Candi yang ada di dekat Watu Tugu termasuk candi baru. Berdasarkan yang ada pada tulisan di bangunan candi itu, bahwa candi ini duplikat candi Gedong Songo yang dibuat pada tahun 1984-1985, oleh prakarsa PT Tanah Mas Semarang, Bapak Djamin CH.(HS)