
HALO SEMARANG – Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng tidak bisa menggunakan Undang-Undang Pemerintah Daerah pada kasus yang terkait kepemiluan. Sebab telah ada regulasi yang mengatur secara khusus yakni Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Dengan demikian, keputusan Bawaslu bahwa Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo dan puluhan kepala daerah di Jateng melanggar etika karena mendukung capres tertentu, tidak bisa dibenarkan. Apalagi Bawaslu menekankan pada netralitas yang pada UU Pemda bersifat umum.
“Kalau kepala daerah harus netral, di UU Pemda itu ketentuan yang bersifat umum. Tapi ada UU Pemilu, yang merupakan UU lex specialist dari UU Pemda yang membolehkan kepala daerah ikut berkampanye,” kata Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, Senin (25/2/2019).
Fadli menegaskan, Bawaslu tak perlu merambah ke UU Pemda untuk memproses Ganjar dalam kasus ini. Penelusuran yang dilakukan Bawaslu Jateng mestinya hanya pada kemungkinan ada atau tidaknya pelanggaran terhadap UU Pemilu.
“Harusnya, yang perlu dicek itu adalah, apakah Ganjar dan bupati wali kota melakukan itu di hari libur atau tidak. Jika di hari libur, maka tidak jadi soal, sepanjang deklarasi itu tidak mengumpulkan orang dalam jumlah yang lebih dari syarat kampanye pertemuan terbatas dan rapat umum,” katanya.
Jika kampanye itu dilaksanakan di hari kerja, lanjut Fadli, maka yang perlu ditelusuri adalah apakah Ganjar dan kepala daerah yang ikut sudah cuti atau belum di hari pelaksanaan itu. “Tapi kan ternyata deklarasi tersebut dilakukan di hari Sabtu, itu hari libur,” katanya.
Indikator penelusuran terakhir pada deklarasi gubernur dan kepala daerah di Solo tersebut adalah ada atau tidak aparatur sipil negara yang ikut mendeklarasikan. Karena ASN diwajibkan netralitasnya.
“Kemudian, yang perlu di-cek, apakah ada orang yang ikut di dalam aktivitas itu yang terkategori dilarang ikut kampanye, seperti ASN,” katanya.
Pengamat politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Supriyadi menilai, bukan ranah Bawaslu untuk memutuskan sesuatu menggunakan Undang-Undang Pemerintah Daerah.
“Mesti harus dikembalikan lagi ke UU pemilu, peraturan kepemiluan, Bawaslu tidak punya ranah undang-undang pemda, ranahnya sudah beda,” katanya.
Menurut dosen pengampu mata kuliah sosial politik itu, dalam memutuskan kasus deklarasi Ganjar Pranowo Cs, Bawaslu cukup mendasarkan pada Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Keberadaan gubernur dan kepala daerah harus dilihat dalam konteks status kehadirannya.
“Dalam konteks apa dia bicara atau dalam konteks apa dia datang atau menghadiri pertemuan,” ujarnya.
Dari sisi itu, Bawaslu cukup memutuskan apakah ada Undang-Undang Pemilu yang dilanggar. Jika kemudian diputuskan bahwa tidak melanggar, maka cukup sampai di situ, tidak perlu merambah ranah lain, misalnya Undang-Undang Pemda.
“Saya lebih melihat sesungguhnya bagaimana Bawaslu ini harus mendasarkan diri atas peraturan perundangan yang berlaku untuk pemilu, jadi persoalan rekomendasi ke Mendagri itu sudah ranah lain lagi,” tegasnya.
Jika pun ada rekomendasi ke Mendagri, maka keputusan adanya pelanggaran dan sanksi adalah tanggung jawab Mendagri. “Tapi biasanya begini, pejabat kepala daerah akan mendapat sanksi atas dasar konteks pekerjaannya, Mendagri akan memberi teguran,” paparnya.(HS)