
USAI Debat Calon Presiden yang dilaksankan di salah satu stasiun TV nasional, saat ini mengemuka isu seksi yang sedang jadi bahasan nasional, yaitu konsesi lahan. Isu itu mencuat karena saat itu Presiden Indonesia Joko Widodo yang juga calon presiden di Pemilu 2019, sedang mengangkat isu soal reforma agraria.
Namun sayangnya, hingga kini UU Pokok Agraria (UUPA) dan semangat land reform (reforma agraria) hanyalah isapan jempol belaka. Semua prisiden tidak terkecuali era Presiden Jokowi, kurang memahami tentang land reform ini dengan baik.
Bahkan, presiden-presiden yang lalu tidak ada yang secara serius melakukan gerakan untuk memperbaiki sistem agraria di Indonesia. Sebenarnya, niat melakukan reforma agraria sempat terlihat pada beberapa langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi. Misalnya dengan membagi sertifikat gratis ke masyarakat. Tetapi dalam praktiknya, apa yang dilakukan Jokowi ini malah memperlihatkan bahwa dirinya (beserta menteri ATR/BPN) tidak begitu memahami persoalan agraria dengan baik.
Ruwetnya masalah agraria ini memang sudah terjadi sejak zaman Hindia Belanda dulu. Hal tersebut dapat dilihat dari lahirnya PP No 24 th 1997 pengganti PP No 10 th 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Aturan tersebut telah mengebiri dan melegalkan pemaknaan hak atas tanah yang berujung terjadinya pembiasan dan bahkan pembusukan makna, dan berakibat fatal dalam penguasaan tanah.
Ada kesengajaan untuk memberlakukan lagi asas domaein verklaring (pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik negara) dengan gaya dan cara yang tersembunyi dan dilegalkan dalam peraturan pemerintah pelaksana UUPA. Seperti PP No 10 th 1961, atau PP No 24 th 1997, juga PP No 40 th 1996.
UUPA sendiri sudah lama terpinggirkan, implementasi dan aturan turunannya tidak sinkron dengan semangat reforma agraria. Penulis mencontohkan Pasal 2 UUPA yang diimplementasikan dalam PP 24 th 1997, khususnya pada Pasal 1 ayat (4). Di mana hak menguasai negara atas tanah dapat diberikan kewenangannya pada pihak lain. Kemudian pihak lain tersebut dimaknai bias (pihak lain tersebut bisa bermakna swasta secara holistik). Pemahaman pihak lain tersebut tentu terlalu luas atau komprehensif. Sehingga tidak sejalan dengan semangat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Padahal dalam peraturan pemerintah, objek yang dituju sudah harus jelas dan tidak bisa multi tafsir.
Pemberian hak atas tanah tersebut juga diimplementasikan secara arogan oleh peraturan turutannya, sebut saja misal pemaknaan Pasal 28 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), diterjemahkan oleh PP No 40 Th 1996, juga PP No 24 Th 1997. Bahkan sampai saat ini pun masih dilegalkan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU.
Dalam aturan tersebut Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang berkedudukan di Indonesia boleh mengajukan HGU minimal 5 hektare untuk perorangan dan 25 hektare untuk badan hukum. Namun anehnya, aturan itu tak mencantumkan pembatasan maksimal. Ini menurut penulis sangat janggal, karena dengan begitu pihak yang mengajukan HGU bisa saja mengajukan seluas-luasnya, bahkan bisa saja di seluruh wilayah negara.
Hal inilah yang sudah sering penulis sampaikan di beberapa forum dan menjadi bukti bahwa negara telah merampok hak-hak atas tanah rakyat, dengan menggunakan aturan pelaksanaan UUPA, yaitu PP No 40 th 1996 dan PP No 24 th 1997 pengganti PP No 10 th 1961. Kedua PP tersebut jelas masih menganut asas domaein verklaring.
Asas untuk menguasai hak-hak atas tanah rakyat ini pun melegalkan perampokan tanah rakyat sejak Hindia Belanda. Sebagai contoh HGU yang dimiliki perusahaan Prabowo (isu pemantik soal agraria yang sedang berkembang saat ini). Atas hal itu sebenarnya bukan salah Prabowo atau perusahaannya.
Yang tidak benar adalah aturannya, karena aturan tidak melarang dan tidak ada pembatasan maksimal penguasaan HGU. Bahkan jika Prabowo atas nama perusahaannya ingin menguasai seluruh HGU tidak ada larangan. Hanya masalahnya, menjadi tidak konsisten ketika seorang calon pemimpin menguasai sebesar itu atas HGU. Pada hal rakyat membutuhkannya sebagai kebutuhan primer.
Dalam kritik saya sudah sering saya sampaikan, dengan aturan yang ada, telah terjadi perampokan hak atas tanah negara yang dilakukan sendiri oleh negara dengan model asas domain varklaring model baru. Yang mana zaman Hindia Belanda, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam VOC telah mendapatkan keuntungan dengan asas domaein verklaring, yaitu pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang rakyat (orang) tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara.
Hal ini sama dengan dalam pembuktian yang bersifat normatif. Sedangkan tidak semua hak atas tanah bersifat normatif (saya contohkan hak atas tanah adat lebih bersifat antropologis).
Negara yang semestinya mengatur dan menjaga keseimbangan dalam penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan hak atas tanah rakyat, justru melalui aturan yang ada telah menjadi pagar makan tanaman.
Coba pahami Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Frasa dikuasi oleh negara dalam pasal 33 UUD NRI 1945 tersebut, sering menimbulkan salah pengertian, karena banyak orang menganggap bahwa berdasarkan ketentuan dalam pasal 33 UUD NRI 1945, tersebut semua tanah di Indonesia “dimiliki” oleh negara.
Hapus Semua Hak
Anggapan demikian tidak benar, karena dalam konsep Hukum Agraria Indonesia, “Negara tidak memiliki tanah.”
Hal ini dijelaskan di dalam Penjelasan Umum angka II sub (1) UUPA; yang untuk jelasnya kami kutip di sini:
“Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”, dan pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia. Jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja, termasuk negara.
Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.
Kelemahan-kelemahan kebijakan reforma agraia sangat massif dan masih banyak. Jika penulis ungkap, kebijakan agraria dan tata ruang di negara kita ini banyak sekali, sayangnya pemangku pemerintahan tidak inovatif sehingga tidak mempunyai gagasan dan solusi yang jitu. Saya contohkan tentang sertifikasi yang menjadi program Presiden Jokowi. Program itu menurut penulis terlalu berisiko dan terlalu “jadul”.
Sebenarnya reforma agraria bisa dilaksanakan dengan sangat mudah. Permasalahan berani tidak pemerintah merobohkan sistem lama dan membuat konstruksi sistem baru yang lebih baik. Dengan memegang prinsip dasar dalam memaknai hak atas tanah, tinggal dibagi saja menjadi dua hak, yaitu hak milik dan hak pakai. Selebihnya hak lain harus dihapus (termasuk HGU dan HGB).
Penulis: Widhi Handoko, Dr, SH, SpN
(Notaris di Semarang dan Akademisi Undip)