in

Pengamat: Ada Tendensi Politik Di Balik Kasus Juliari dan Edy Prabowo

Ilustrasi kriminal.

 

HALO SEMARANG – Beberapa pengamat mencium ada tendensi politik di balik kasus korupsi yang menjerat Juliari P Batubara dan Edy Prabowo. Terungkapnya korupsi bantuan sosial (bansos) yang menjerat mantan Menteri Sosial RI, Juliari Batubara dan korupsi terkait ekspor benih lobster mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, Edhy Prabowo beberapa waktu lalu, memang sulit dilepaskan dari agenda atau motif politik tertentu.

Hal tersebut bukan saja untuk menghantam partai politik yang menaungi keduanya, tetapi juga terkait dengan rivalitas di dalam tubuh kabinet sendiri.

“Kalau kita melihat petanya di KPK, dari zaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), sampai hari ini, sebenarnya orang-orang di dalam itu tidak objektif juga. Karena mereka sama, tidak sepenuhnya independen, atau tidak pernah sepenuhnya bebas dari kepentingan politik luar. Apalagi jika kita lihat konteks pelemahan KPK selama beberapa waktu belakangan ini, terutama setelah revisi UU KPK,” kata pengamat politik Universitas Mercu Buana, Syaifuddin seperti dalam rilis yang diterima halosemarang.id, Selasa (12/1/2021).

Dijelaskan Syaifuddin, dalam konteks lemahnya penegak hukum seperti KPK, maka bukan tidak mungkin lembaga antirasuah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Menurut dia, Gerindra dan PDI Perjuangan sebagai partai yang menaungi Edhy dan Juliari merupakan partai terbesar pertama dan kedua yang kemungkinan besar akan bersama-sama pada Pilpres 2024.

Bukan hanya itu, mementum Pilkada serentak sebelum penangkapan keduanya juga menjadi konteks politik yang pantas diperhitungkan.

“Ketika dua partai ini kemungkinan besar akan bergabung atau berkoalisi, maka siapa pun akan sulit bersaing sehingga dicari cara bagaimana menggembosi kekuatan ini. Dan ada celah yang bisa dipakai,” lanjut dia.

Memang, setelah Edhy dan Juliari terjerat kasus, hasil survei partai politik yang dilakukan oleh Voxpopuli Research Center belum lama ini menyebut, PDIP dan Gerindra mengalami penurunan dukungan.

PDIP anjlok dari sebelumnya 33,5 persen (Juni 2020) dan 31,3 persen (Oktober 2020), kini hanya berada di angka 19,6 persen. Demikian pula dengan Gerindra yang sebelumnya stabil di angka 14,1 persen (Juni 2020) dan 13,9 persen (Oktober 2020), merosot hanya tinggal 9,3 persen.

Bukan hanya itu, pada Pilkada Serentak 2020 lalu, banyak calon yang diusung PDIP dan Gerindra tumbang.

“Efek dominonya banyak secara politik. Tapi tetap bahwa tidak ada niat dari Gerindra maupun PDIP untuk melemahkan pemerintahan Jokowi itu sendiri,” katanya.

Sementara Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie mengatakan, pengungkapan kasus korupsi tak lepas dari tiga aspek yakni politik, hukum dan sosial.

“Memang indikasi ada yang memang murni hukum, tapi ada penangkapan dalam motif politik, ada juga sosial, yaitu keterlibatan publik yang sudah tidak tahan lagi dengan prilaku elit,” ujar Jerry.

Hal lain yang dia sorot adalah adanya semacam rivalitas di dalam kabinet sendiri.

“Ya rivalitas individu sesama menteri, atau juga rivalitas parpol di dalam kabinet itu bisa juga. Tampaknya kompak tetapi bisa juga saling intip satu sama lain dan menunggu celah untuk dijegal. Dan itulah realitas politik kita di Indonesia,” katanya.

Meski demikian, dia berharap KPK bekerja profesional dan tidak ada tebang pilih dalam pengungkapan kasus korupsi.

“Artinya semua kementerian atau lembaga dipantau, jangan ada semacam pilih‐pilih kasus atau orang atau tokoh atau parpol tertentu saja. Intinya KPK harus independen dan profesional,” pungkasnya.(HS)

Yoyok Sukawi Berharap PPKM Bisa Beri Dampak Positif Terhadap Kondisi Negara

Besok, Ketua DPRD Kota Semarang Siap Divaksin