in

Pembatalan IMB Hotel Sato, Kecerobohan Pejabat Yang Berwenang

Dio Hermansyah.

Penulis: Dio Hermansyah

PEMBATALAN Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Hotel Sato di Kudus oleh Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN) Semarang, akan menjadi polemik besar bagi pemilik maupun Pemerintah Daerah atau dalam hal ini Pemkab Kudus. Hakim Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) Semarang telah mengabulkan gugatan penggugat, Benny Gunawan Ongkowidjojo yang mempersoalkan keluarnya IMB Hotel Sato.

Dari amar putusan tersebut PTUN Semarang mencabut IMB yang dikeluarkan oleh tergugat kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kudus atas bangunan Hotel Beauty atau The Sato Hotel di Jl Pemuda No 77, Nganguk, Kramat, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus.

Pembangunannya Hotel Beauty atau yang sekarang The Sato Hotel direalisasikan tujuh lantai dengan luas lahan 390 meter persegi. Pembangunan tidak menyisakan garis sempadan. Artinya tidak ada jarak bangunan hotel dengan rumah di sekitarnya.

Mengacu pada aturan yang berlaku, bangunan gedung tanpa pemberian garis sempadan setidaknya melanggar undang-undang bangunan gedung dan peraturan pelaksanaannya.

Menurut Prof Rozali Abdullah, SH dalam jurnalnya “Implikasi Hukum Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Ditinjau Dari Pelaksanaan Otonomi Daerah Dan negara Kesatuan” (2005: 98) menyatakan, dalam eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan.

Istimewanya, Presiden selaku kepala pemerintahan dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan putusan PTUN. Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa: Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menimbulkan sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan untuk mencabut KTUN dimaksud.

Sementara Paulus Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234).

Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN baru.

Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan fiktif negatif.

Pembentuk Undang-Undang mengharapkan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan secara sukarela. Namun, keberhasilan pelaksanaan putusan itu sangat bergantung pada wibawa pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat (Rozali Abdullah, 2005: 99).

Kalau putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan juga, maka UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administratif dari atasan Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan pejabat yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa.

Mekanisme lain yang disebut dalam UU PTUN adalah pengenaan uang paksa dan pengumuman lewat media massa. Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan, pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja.

Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan. Pasal 116 ayat (6) UU PTUN menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari rumusan ini jelas, bahwa Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan.

Sedangkan, mekanisme uang paksa yang disebut dalam Pasal 116 ayat (4) UU PTUN, hingga kini regulasinya belum jelas. Penjelasan Pasal 116 ayat (4) UU PTUN hanya menyebutkan pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang dicantumkan dalam amar putusan pada saat hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat.
Setidaknya, masih menjadi pertanyaan apakah uang paksa itu digabung bersama gugatan ke PTUN atau terpisah, siapa yang harus membayar (pribadi pejabat TUN atau dari anggaran badan), dan berapa besar uang paksa atau dwangsom yang dimungkinkan. Ini masalah krusial yang sering ditanyakan dan tampaknya perlu segera diatasi (Mahkamah Agung, 2007: 9).

Dengan demikian ada penyelahgunaan oleh pejabat terkait dalam memberikan Izin mendirikan Bangunan Tanpa adanya musyawarah kepada warga terdampak. Termasuk juga dalam kasus pembatalan Izin Mendirikan Bangunan Hotel Sato di Kudus oleh Pengadilan negeri Tata Usaha (PTUN) Semarang. Kita akan lihat, bagaimana masalah ini akan terurai, karena bangunan tersebut saat ini sudah berdiri.(Penulis merupakan pengacara yang tinggal di Semarang-HS)

Faktor Kekuatan Bisa Menguntungkan The Great

Gagal Petik Kemenangan Lawan PSM, Coach Ian: Sedikit Frustasi, Banyak Peluang