in

Museum Bubakan Belum Dilengkapi Fasum Bagi Penyandang Disabilitas

Museum Bubakan, yang sudah rampung pengerjaannya pada Desember 2020, merupakan bagian dari revitalisasi Kota Lama tahap 2 yang tinggal menunggu serah terima resmi dari Kementerian PUPR ke Pemkot Semarang.

 

HALO SEMARANG – Pembangunan museum Bubakan di Kawasan Kota Lama Semarang yang kini berdiri megah, ternyata belum memberikan akses atau kemudahan, terutama bagi penyandang disabilitas.

Hal ini terlihat belum tersedianya akses menuju museum jalur kursi roda, hanya tangga saja.

Bahkan, tidak memiliki pengangan pada anak tangganya.

Didik Sugianto ketua Yayasan Satu Harapan mengatakan, kemudahan atau akses khusus untuk penyandang disabilitas sampai saat ternyata belum begitu diperhatikan oleh pembangunan infrastruktur di Kota Semarang. Masih banyak ditemukan fasilitas umum (fasum) yang dilengkapi bagi orang berkebutuhan khusus ini.

“Sejak museum jadi, pemberitaannya cukup massif, ternyata setelah dilihat museum Kota Lama atau museum Bubakan ini hanya memikirkan anak tangga untuk akses keluar masuknya, tidak ada jalur khusus bagi penyandang disabilitas,” kata Didik yang juga membawahi Komunitas Sahabat Difabel dan Rumah Difabel Semarang, Jumat (28/1/2021).

Pihaknya mengaku jika Komunitas Sahabat Difabel belum lama ini telah berkomunikasi dengan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi terkait tidak adanya akses bagi penyandang disabilitas di Museum Bubakan.

“Kita sudah menghubungi Pak Hendi, akan diteruskan ke dinas terkait namun karena belum ada serah terima, belum bisa dilakukan apapun,” katanya.

Harapannya, tentu ada perubahan akses masuk ke Museum Bubakan ini agar bisa dinikmati semua pihak termasuk penyandang disabilitas.

Selain itu pembangunan infrastruktur di Semarang ini bisa ramah penyandang disabilitas. Menurut Didik, dengan ramah difabel, sebuah fasilitas umum tentu juga akan ramah anak, orang tua dan lainnya.

“Untuk pembangunan fasum yang sifatnya dari pemkot, misal Dinas Pekerjaan Umum, penyandang disabilitas sudah sering dilibatkan dan hasilnya sesuai yang diharapkan. Namun karena Museum Bubakan dibangun pusat, mungkin berbeda. Ke depan tentu bisa menjunjung tinggi asas kesamaan hak,” harapnya.

Menurut dia asas kesamaan hak umat manusia, sudah diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2016, termasuk bagi mereka penyandang disabilitas untuk bisa turut merasakan fasilitas umum ataupun infrastruktur yang dibangun pemerintah.

“Tentu Pemkot Semarang harus bisa menurunkan dan merealisasikan ke akses publik yang dimiliki, termasuk pada kelurahan, kecamatan atau dinas-dinas yang ada,” ungkapnya.

Sementara itu, Noviana Dibyantari, Founder dan Inisiator dari Komunitas Sahabat Difabel ( KSD ) dan Roemah Difabel menjelaskan, saat ini pembangunan infrastruktur di Semarang dinilai mulai bagus dan ada kesadaran dari pihak swasta maupun pemerintah untuk mengakomodir penyandang disabilitas.

“Memang sudah ada, namun belum sesuai, misal jalur khusus kursi roda yang harusnya 30 derajat, untuk tangga ada hand rel bagi tuna netra atau yang mereka yang pakai krek,” tambahnya.

Menurut dia, pada UU No 8 Tahun 2016 sudah di undangkan, dan sudah berjalan selama empat tahun tetapi implementasinya belum berjalan dengan baik, meski pemerintah sudah mencoba mengupayakan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.

“Harus menjadi spirit bagi semua OPD yang akan membangun public space dan membuat kebijakan dengan melibatkan penyandang disabilitas tentunya hasilnya akan lebih bisa mengakomodir kepentingan banyak pihak,” katanya.(HS)

Pembangunan Bendung Gerak Karangnongko Madsuk Prioritas

Gerbang Tol Boyolali – Alun-Alun Lor Bisa Lewat Jalan Diponegoro