in

Mengenal Ki Nartosabdo, Seniman Besar yang Makamnya di TPU Bergota

Para pelaku kesenian Kota Semarang saat melaksanakan ziarah ke makam Ki Nartosabdo di area pemakaman umum Bergota Semarang (foto dokumen Dewan Kesenian Semarang).

WAYANG adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di daerah tersebut juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu.
Saat ini, kesenian wayang sudah ditetapkan UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia. Bahkan tiap tanggal 7 November, oleh warga Indonesia dirayakan sebagai Hari Wayang sedunia.

Berbicara tentang sejarah wayang, bagi warga Kota Semarang tidak bisa dilupakan sosok Ki Nartosabdo.

Dalang kelahiran Klaten tersebut memang menjadi maestro wayang dan musik tradisional di Jateng, yang sudah dikenal di seluruh Indonesia.

Tidak heran jika setiap perayaan Hari Wayang, puluhan dalang selalu melakukan tradisi nyekar di pemakamannya, di area TPU Bergota, Semarang.

Namun karena Nartosabdo dulunya memang dikenal sebagai dalang yang dermawan, sehingga saat wafat dia tidak banyak meninggalkan kekayaan.

Maka untuk itu, makamnya pun kini terkesan sederhana, berada di antara pemakaman umum lainnya di area TPU Bergota Semarang.

Bahkan meski dikenal sebagai tokoh kesenian yang sukses pada zamannya, hampir tak ada beda pemakaman Ki Nartosabdo dengan makam-makam lain di sekitarnya. Selain hanya rumah-rumahan pelindung makam, yang dibangun beberapa tahun lalu untuk menghargai jasa beliau dalam mengembangkan kesenian wayang di Indonesia.

Pelaku kesenian Kota Semarang, Daniel Hakiki mengatakan, Ki Nartosabdo merupakan seniman besar yang berjasa bagi perkembangan kesenian di kota ini. Tak hanya di Semarang saja, namun juga di Indonesia.
Tak hanya wayang, seniman yang usai meninggal jasadnya pernah “diperebutkan” untuk dimakamkan di Semarang dan Klaten ini, juga berperan dalam perkembangan musik tradisional di Jawa Tengah. Beberapa lagunya yang hingga kini masih dikenal yaitu, “Swara Sluring”, “Ojo Dipleroki”, “Sarung Jagung”, “Praon”, “Ojo Lamis”, dan masih banyak lagi.

Daniel Hakiki menyayangkan, tidak ada perlakuan khusus dari pemerintah kota atas keberadaan makam tokoh besar ini. Bahkan untuk menuju ke makam, warga luar kota kerap kesulitan karena tak ada penunjuk arah makam seniman yang lagunya dinyanyikan dalam setiap pelajaran Bahasa Jawa tersebut.

“Dalam bayangan saya makamnya akan mudah ditemukan, layaknya makam tokoh pahlawan nasional. Tapi nyatanya tak ada penunjuk jalan untuk menuju ke makam seniman besar ini. Bahkan warga yang hendak mengunjungi makam kerap tersesat dan kesulitan mencari arah menuju makam beliau karena memang bercampur dengan makam lain di TPU ini,” jelasnya.

 

Makam Ki Nartosabdo di area pemakaman umum Bergota Semarang (dokumentasi Dewan Kesenian Semarang).

Menurutnya, atas peran besarnya mengembangkan kesenian wayang di Kota Semarang, nama Ki Nartosabdo layak dijadikan nama jalan.

Ketua Paguyuban Pandemen Ki Nartosabdo, Puji Langgeng, Sukirno menambahkan, pihaknya hanya mempunyai kewenangan untuk memperingatkan seluruh pihak untuk ikut merawat dan mengelola makam tersebut.

“Banyak orang di luar yang memiliki kekaguman terhadap karya-karya Ki Nartosabdo, namun memang aksesnya untuk ke makamnya tidak mudah. Tidak ada papan penunjuk sehingga orang-orang yang ingin mengenang beliau sulit menemukannya,” bebernya.

Dulu, kata dia, Gubernur Ismail yang berkuasa sekitar tahun 1985 mempertahankan bahwa makam Ki Nartosabdo harus berada di Semarang daripada berada di kota kelahirannya Klaten.

Dia pun meminta para dalang, seniman, dan seluruh penikmat dan penggemar Ki Nartosabdo untuk ikut bersama-sama setidaknya membuatkan tetenger makam sang maestro agar mudah ditemukan

“Apa masyarakat tidak merasa berhutang budi sementara lagu-lagu yang diciptakan beliau mesti dibawakan di setiap pagelaran wayang kulit, bahkan di sekolah-sekolah, atau radio,” tandasnya.

Berbeda dengan di Semarang, perlakuan istimewa diberikan Pemkab Klaten untuk mengenang Ki Nartosabdo. Hal itu karena dalang kondang ini memang dilahirkan di sana.
Kampung tempat Nartosabdo kecil menghabiskan hari, kini didirikan Taman Nartosabdo.

Enam kilometer dari Taman Nartosabdo, berdiri tegap Patung sang maestro dalang yang menatap ke arah kampung di mana dulu dia dibesarkan.

Sebagai informasi, Ki Nartosabdo lahir di Klaten, 25 Agustus1925 dan meninggal di Semarang, 7 Oktober 1985 (pada umur 60 tahun).

Sosok ini adalah seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa Tengah. Salah satu dalang ternama saat ini, yaitu Ki Manteb Soedharsono mengakui bahwa Ki Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan sampai saat ini.

Nama asli Ki Nartosabdo adalah Soenarto. Merupakan putra seorang perajin sarung keris bernama Partinoyo.

Pada tahun 1945, Soenarto berkenalan dengan pendiri grup Wayang Orang Ngesti Pandowo, yaitu Ki Sastrosabdo. Sejak itu dia mulai mengenal dunia pedalangan di mana Ki Sastrosabdo sebagai gurunya. Bahkan karena jasa-jasanya membuat banyak kreasi baru bagi grup tersebut, Soenarto memperoleh gelar tambahan “Sabdo” di belakang nama aslinya.

Gelar itu diterimanya pada tahun 1948, sehingga sejak saat itu namanya berubah menjadi Nartosabdo.

Meskipun berasal dari Jawa Tengah, namun Ki Nartosabdo muncul pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK yang disiarkan secara langsung oleh RRI pada tanggal 28 April 1958. Lakon yang dia tempilkan saat itu adalah Kresna Duta.

Karena sering mementaskan lakon carangan Ki Narto pun sering mendapat banyak kritik. Ia juga dianggap terlalu menyimpang dari pakem, antara lain berani menampilkan humor sebagai selingan dalam adegan keraton yang biasanya kaku dan formal. Namun kritikan-kritikan tersebut tidak membuatnya gentar, justru semakin banyak berkarya.

Ki Nartosabdo dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan pada tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota memboikot hasil karyanya.

Meskipun demikian dukungan juga mengalir antara lain dari dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku.(HS)

Kunci Sukses Madrasah: Terbuka dan Aktif Komunikasikan Program

Bangunan Benteng Terpendam di Kota Lama Bakal Diekskavasi Dijadikan “Tetenger”