
BUSANA batik merupakan asli budaya Indonesia yang sudah diakui dunia.
Bagi pecinta batik di Kota Semarang yang ingin mencari berbagai produk batik berkualitas, sekarang tidak usah harus jauh-jauh ke luar kota seperti Pekalongan atau Solo. Sebab di Kota Semarang sendiri telah banyak pembatik yang makin dikenal karena kualitas produk buatannya. Salah satunya yaitu Zie Batik yang ada di Kampung Malon, Gunungpati, Kota Semarang.
Saat halosemarang.id memasuki rumah produksi sekaligus show room batik, mata kami dimanjakan dengan banyak koleksi batik Semarangan.
Zie Batik sendiri, sudah tak asing lagi bagi pecinta batik di Kota Lunpia. Penggunaan warna alami dari berbagai macam tanaman seperti kulit pohon mahoni, kulit buah joho, secang, mangrove, dan daun indigo yang digunakan dalam membuat batik Semarangan menjadi ciri khas produk batik mereka.
Pemilik Zie batik, Zalzilah mengatakan, bahwa dia bersama suami yang juga seorang pembatik, Marheno, menekuni batik ini sejak tahun 2004. Dan dirinya juga mengajarkan cara membatik bagi warga sekitar. Seiring berjalannya waktu, dia pun melihat potensi alam yang luar biasa di Gunungpati, khususnya di Kampung Malon. Akhirnya dirinya pun berkomitmen untuk mengembangkan batik warna alami di Kampung Malon.
“Dulu pertama kami mencoba menggunakan warna alami, hasilnya belum terlalu bagus. Tapi kami tetap komitmen untuk membuat batik dari warna alami. Karena kami tak ingin mencemari lingkungan persawahan di sekitar sini,” paparnya, baru-baru ini.
Perkembangan batik warna alami juga didukung Pemerintah Kota Semarang. Alhasil pada tahun 2016 lalu, melalui program kampung tematik, Kampung Malon dijadikan percontohan untuk kampung batik yang menggunakan pewarna alami.
“Alhamdulillah sekarang warga di Kampumg Malon ini yang terdapat satu RW dan tiga RT sudah bergelut menekuni profesi sebagai pembatik dengan pewarna alami. Ada sekitar kurang lebih 40 ibu-ibu yang sudah bergelut di bidang batik ini,” imbuhnya.
Untuk terus mengembangkan Batik Semarangan berwarna alam tersebut, saat ini banyak sekali dukungan yang datang.
“Dukungan mulai dari bantuan alat hingga pemasaran yang didukung penuh,” katanya.
Batik Semarangan sendiri, lanjut Zalzilah, memiliki motif yang ikonik. Seperti motif Asam Arang, Warak, dan Gambang Semarang. Selain itu juga terdapat motif Gereja Blenduk, serta Lawang Sewu. Menurutnya, untuk market yang lebih luas, dirinya kerap mencampurkan motif tersebut dengan motif yang lebih bisa diterima secara universal.
“Untuk target market yang universal kami kombinasikan motif, seperti motif Warak kami gabung dengan flora fauna lainnya. Untuk best seller Warak dan Asem Purnomo paling diminati. Asem Purnomo itu, satu tema pohon asem besar dan kami modifikasi dengan nuansa lain. Jadi seakan-akan sejuk, teduh, nyaman di bawah pohon asem itu,” katanya.
Untuk mengatasi bahan baku pewarna, masyarakat pun dilibatkan untuk ketersediaan bahan bakunya. Jadi selain menanam padi, atau tanaman bahan pokok, masyarakat tak sedikit yang ikut menanam tanaman indigovera sebagai bahan dasar pewarna batik.
“Indigovera kalau sini lebih dikenal dengan nama Tom. Petani yang punya lahan yang luas dan tak terpakai, dipakai untuk menanam tanaman ini,” ucapnya.
Teknik pewarnaan dengan menggunakan tanaman indigo pun mengundang minat banyak mahasiswa luar negeri yang ingin belajar pewarnaan dengan bahan alami. Seperti mahasiswa Singapura dan Amerika.
“Banyak yang ke sini, mereka tau dari internet. Untuk tanaman indigo memang ada proses tertentu sebelum digunakan. Seperti harus melalui tahap fermentasi dahulu dan kemudian ada pencampuran dengan gula jawa,” terangnya.
Alhasil, lanjut dia, saat ini batik warna alami asal Kampung Malon telah merambah hingga pasar di luar negeri. Seperti Jepang dan Singapura. “Ada peminat di sana yang kerap memasan batik dari sini. Kalau di Jepang suka warna Indigo. Untuk harga variasi tergantung kerumitannya. Bahkan ada yang seharga Rp 16 juta satu lembar kain batik,” pungkasnya.(HS)