
MASALAH sampah plastik di Indonesia sempat menjadi sorotan dunia internasional. Dikutip dari berita cnbcindonesia.com, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R Jambeck dari University of Georgia, pada tahun 2010 ada 275 juta ton sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia. Sekitar 4,8 sampai 12,7 juta ton di antaranya terbuang dan mencemari laut.
Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta yang setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tak terkelola dengan baik. Sekitar 0,48 hingga 1,29 juta ton dari sampah plastik tersebut diduga mencemari lautan. Data itu juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah pencemaran sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia. Tiongkok memimpin dengan tingkat pencemaran sampah plastik ke laut sekitar 1,23 sampai 3,53 juta ton/tahun.
Usai persoalan itu mencuat, banyak pihak di Indoensia yang kemudian mengkampanyekan perang terhadap sampah plastik.
Namun bisa dibilang perlawanan terhadap sampah plastik di Indonesia sejatinya hanya retorika semu semata. Orang mengecamnya namun tak berdaya dari ketergantungan terhadapnya. Banyak orang meneriakan isu-isu pelestarian lingkungan namun masih tak lepas dari sedotan plastik ketika menenggak minuman di warung-warung makan atau bahkan cafe terkenal. Bahkan ketika belanja di minimarket, hampir dipastikan ada kemasan plastik yang dibawa pulang ke rumah. Hal itu karena hampir semua produk yang dijajakan di minimarket maupun swalayan, sebagian besar menggunakan kemasan plastik.
Di lingkup yang lebih kecil, di Kota Semarang pun kondisinya sama. Banyak produk dengan kemasan plastik yang masih beredar di pasar tradisional, semi modern, maupun toko modern. Seolah masyarakat di Kota Semarang sudah sangat akrab dengan kemasan plastik. Meski Pemkot Semarang sudah membuat aturan soal sampah plastik yang tertuang pada Peraturan Walikota (Perwal) Semarang Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pengendalian Sampah Plastik yang sudah dikeluarkan sejak bulan Juni 2019 lalu, masyarakat seolah tak bisa terlepas dari ketergantungannya terhadap plastik.
Bahkan di lingkup dunia pendidikan sekali pun, banyak acara yang diadakan mahasiswa atau kampus di Kota Semarang, masih menyuguhkan air mineral berkemasan plastik kepada tamu undangan maupun peserta. Hal itu juga terjadi di banyak tempat dan banyak lingkungan. Tak perlu dipungkiri, pemandangan itu kerap sekali ditemui saat ada acara diskusi atau acara seminar di kampus, sekolah, kampung, maupun di lingkungan pemerintahan.
Berbicara perlawanan yang lebih spesifik, mungkin bisa didapati di sekelompok kecil warga Jalan Kinibalu, Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candi, Semarang. Beberapa warganya terbilang “melek” dalam upaya mengurangi jumlah sampah plastik di lingkungan mereka. Upaya mereka dalam mengatasi persoalan sampah telah menjadi sebuah gerakan bersifat massif. Tidak mengherankan lingkungan pemukiman di Jalan Kinibalu Barat ini tampak asri, hijau dengan tanaman-tanaman hias yang tertata rapi. Di kampung ini gundukan sampah yang tercecer seperti lazimnya di tempat-tempat lain mencoba diminimalisir.
Kepedulian masyarakat terhadap persoalan sampah plastik di Jomblang tidak terlepas dari peran paguyuban lingkungan hidup Alam Pesona Lestari (APL). Dibentuk sejak 2008, paguyuban ini terus menyuarakan kepada masyarakat sekitar tentang kepedulian lingkungan, terutama perang terhadap sampah plastik.
Ketua APL, Ismiyati Surjadi menceritakan, bagaimana beratnya perjuangan paguyuban pada tahun-tahun pertama dalam memberikan edukasi ke masyarakat. Pemikiran masyarakat saat itu masih menganggap solusi paling tepat untuk melenyapkan sampah adalah dengan membakar, menimbun, dan membuangnya di bantaran kali.
“Saya sampaikan kalau buang sampah ke kali bisa bikin penyakit. Mereka malah tanya kenapa tidak boleh? Kami pun berusaha menjelaskan bahwa dulu warga di sini jumlahnya sedikit. Tidak padat seperti sekarang. Kalau semua warga menjadikan kali sebagai tempat sampah tentu akan mendatangkan masalah serius bagi kesehatan,” jelas Ismi, sapaan akrab Ismiyati Surjadi.

Dukungan Kelurahan
Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar agar masyarakat meninggalkan kebiasaan-kebiasaan dalam pengelolaan sampah, khususnya sampah plastik. Hal pertama yang dia ajarkan adalah memilah sampah. Yaitu sampah organik dikomposkan dan sampah anorganik dijual ke pengepul barang bekas. Terus menerus hal itu dia suarakan di forum-forum pertemuan RT/RW, hingga pertemuan kelurahan.
Ismi bahkan mendapat dukungan dari pihak kelurahan, dengan mengadakan agenda rutin menyusuri kali untuk membersihkan sampah. Lucunya, ketika sedang ada acara bersih-bersih, masih ada warga yang dengan entengnya melempar kantong-kantong plastik ke kali.
Setelah beberapa tahun kemudian, warga mulai menyadari dan mengikuti sarannya dalam pengelolaan sampah. Maka dibentuklah bank sampah di Kelurahan Jomblang. Masyarakat mulai menerapkan untuk memilah dari rumah sehingga sampai di bank sampah, petugas tinggal mencatat dan menimbang. Setidaknya pada tahun 2010an mulai terdapat sepuluh pos bank sampah di Kelurahan Jomblang. Hasil penjualan sampah-sampah anorganik itu masuk ke tabungan warga yang boleh dibuka sewaktu-waktu.
“Ada satu RW yang masyarakatnya kebanyakan sudah terbilang mampu, tabungannya belum dibuka sampai sekarang. Jumlahnya sampai Rp 15 juta,” tambah perempuan asli Magelang ini.
Selain dijual ke pengepul, warga Jomblang juga mengkreasikan sampah-sampah plastik menjadi barang bernilai jual. Bungkus-bungkus plastik diubah menjadi tas, tikar, sajadah, dompet dan sampul buku. Koran bekas diubah jadi kerajinan seperti guci dan lainnya. Aktivitas tersebut dilakukan oleh 100 orang kader APL di garasi rumah Ismi yang difungsikan sebagai workshop dan galeri.
Tidak tanggung-tanggung, pesanan perdana yang didapat APL adalah 2.000 tas daur ulang dari sebuah organisasi pemerhati lingkungan. Selain dipasarkan dalam pameran-pameran yang diselenggarakan instansi maupun perusahaan, barang-barang kreasi kader APL juga beredar sampai ke Belanda, Jerman, Singapura, Afrika dan Jepang.
Setelah belasan tahun terbentuk, manfaat menjaga lingkungan mulai dapat dirasakan masyarakat sekitar dan kader-kader APL.
Dwi, salah satu warga Kelurahan Jomblang mengatakan, untuk lepas sepenuhnya dalam hal penggunaan plastik, diakuinya hal itu sangatlah sulit. Namun yang bisa dilakukan sebagian warga Jomblang untuk sementara ini, yaitu meminimalisir sampah plastik yang terbuang ke tempat sampah. Di antaranya sengan dimanfaatkan untuk barang berdaya guna seperti pot dan kerajinan tangan, atau dijual ke pengepul barang bekas.
“Meski belum menyeluruh, namun sebagian besar warga mulai mengurangi ketergantungan terhadap kantong plastik. Kalau ke pasar sudah bawa tas dari rumah. Dan kalau membeli makan matengan, seperti mie ayam, bakso bawa rantang sendiri dari rumah,” tandasnya.

Terpisah, Kepala DLH Kota Semarang, Sapto Adi Suguhartono memaparkan, Wali Kota Semarang telah mengeluarkan Peraturan Wali Kota (Perwal) tentang pengendalian penggunaan plastik. Dalam perwal tersebut, para pemilik usaha, retail, dan pemilik warung diminta untuk membatasi sampah plastik. Penggunaan sedotan, tas kresek, dan botol sekali pakai harus dikurangi.
“Kami mendorong pengurangan sampah plastik dengan hadirnya bank sampah. Namun memang dalam penerapannya masih menemui banyak kendala, terutama soal kesadaran warga,” katanya.
Disebutkan, seluruh bank sampah di Kota Semarang merupakan bank sampah yang aktif. Sebab mereka dibina oleh organisasi maupun perusahaan yang mau berkontribusi membantu pengurangan sampah plastik. Pihaknya pun mengapresiasi apa yang dilakukan warga Jomblang yang memiliki kesadaran dalam pengelolaan sampah di wilayahnya.
Dia juga berharap, tidak hanya kelompok masyarakat yang peduli terhadap sampah plastik, namun ada investor atau perusahaan di Semarang yang mau menerima sampah plastik. Baik dalam bentuk sampah maupun olahan sampah yang dibuat oleh warga. Karena sampai saat ini, meski banyak kreasi kerajinan tangan dari sampah plastik yang dibuat warga, namun warga masih kesulitan dalam hal pemasaran produk.
“Kami masih mengirim sampah-sampah plastik ke Jawa Timur, ke perusahaan-perusahaan peleburan plastik yang ada di sana. Kami harap ada investor di Kota Semarang mau menerima sampah plastik sehingga tidak harus mengirim Jawa Timur,” harapnya.
Dia membeberkan, volume sampah masyarakat Kota Semarang yang masuk ke TPA Jatibarang saat ini mencapai 1.000 hingga 1.200 ton setiap hari. Kebanyakan adalah sampah rumah tangga.
Sementara, sampah plastik sendiri sekitar 25 persen dari jumlah tersebut. “Memang sampah plastik sulit untuk diurai oleh alam, dan apalagi butuh waktu yang lama bisa mengurai sendiri, tidak seperti sampah organik. Sehingga harus dicarikan solusi untuk menguranginya agar tidak membahayakan lingkungan alam,” imbuhnya.(HS)