
AIR mata gadis manis berkerudung itu terus meleleh. Setiap kata diucapkan dengan suara bergetar. Sembari mengatur napas, sesekali ujung jarinya menyeka air mata.
“Saya salah satu dari bagian Kampus Mengajar angkatan 1 tahun 2021, dan kebetulan ditempatkan di SD Suryo Bimo Kresno Semarang. Saya juga baru tahu sekolah itu setelah sudah lolos (seleksi Kampus Mengajar),” kata Tasya Tsania Anaraki, mengawali cerita, Senin (7/6/2021).
Tasya merupakan mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Ilmu Budaya (FBIB) Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang. Selama dua bulan lebih, dia menjadi guru di sela mengikuti perkuliahan yang digelar secara daring.
“Saya baru tahu kalau itu ternyata adalah sekolah inklusi. Saya juga baru baru mengenal istilah itu (inklusi), ternyata adalah sekolah di mana di dalamnya itu ada anak-anak yang berkebutuhan khusus dan ada juga anak yang normal, tetapi memiliki keterlambatan belajar. Jadi dia tidak bisa disekolahkan di sekolah biasanya,” kata dia.
“Di sini anak-anaknya membutuhkan perhatian yang lebih. Kalau untuk jumlah siswa itu ada semuanya mulai kelas 1-6, ya total sekira 60 siswa. Dan jumlah gurunya hanya ada 5 orang, jadi ada guru yang megang dua kelas. Dan semua guru itu cewek semua, enggak ada cowoknya,” imbuhnya.
“Kebetulan ini mahasiswa Kampus Mengajar kelompok saya juga isinya cewek semua. Jadi di sekolahnya itu benar-benar hanya cewek semua. Satu-satunya cowok hanya penjaga (sekolah saja). Jadi emang ful girls power,” lanjut dia.
Dua bulan mengajar di sekolah inklusi, banyak pengalaman yang diserap. Kesabaran menjadi kata kunci utama untuk menyampaikan pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus. Berbeda saat Tasya menjadi tenaga bagi anak-anak yang ingin mendapat tambahan pelajaran Bahasa Inggris.
“Kalau biasanya kan saya memberikan les kepada anak-anak. Tidak hanya jumlah anak yang les ini hanya sedikit, tapi mereka adalah anak pada umumnya. Tapi di sini jumlah siswa ada banyak dan berkebutuhan khusus. Saya megang anak kelas 2,” ungkapnya.
“Mereka itu kan tidak bisa berinteraksi dan komunikasi. Jadi walaupun kita ngomong, mereka enggak ngerti kita ngomong apa. Jadi saya juga bingung. Bener-bener harus diarahin misalkan nulisnya kaya gini, ya harus kita contohin di depannya langsung,” lugas perempuan berparas ayu itu.
Ketua BEM FBIB Unisbank ini menyampaikan, harus bisa memahami keinginan siswanya yang terdiri anak autis, hiperaktif, dan down syndrome. Jika mereka enggan belajar, maka tak langsung dipaksa melainkan mesti menunggu waktu yang tepat.
“Jadi harus bener-bener sabar banget. Kalau misal yang down syndrome itu kan memiliki keterlambatan dalam perkembangan, jadi kalau dia enggak mau belajar ya kita enggak bisa maksa. Jadi harus sesuai sama keinginannya. Yang penting dia mau datang ke sekolah aja udah Alhamdulillah,” katanya.
“Bahkan kemarin ada yang datang ke sekolah tapi dia nggak mau turun dari mobil, akhirnya enggak jadi belajar. Ada pula, anak yang kalau saya bicara, dia enggak ngeliatin tapi tangannya itu malah memukul buku, tapi bukan dalam aksi kekerasan ya. Ini pengalaman yang tak terlupakan banget, dan saya tahu alasan mereka seperti itu,” tuturnya.
Masa pandemi Covid-19 tak urung kian menambah hambatan. Pembelajaran daring untuk mencegah penyebaran virus corona, ternyata sama sekali tak efektif diterapkan bagi anak berkebutuhan khusus. Terlebih, bagi anak-anak yang masih berada di kelas 2.
“Untuk sekolah online itu sangat susah. Teman saya yang ngajar anak kelas 5 itu sekolah online, saya ngelihatnya sangat repot. Apalagi saya ngajar kelas 2, anak-anak masih kecil dan kebutuhan khusus. Makanya agar tetap sesuai prokes anak-anak yang masuk kita gilir. Kadang yang datang itu 3 siswa, besoknya 2 siswa, atau hanya 1 siswa. Jadi tiap hari ganti-ganti anak yang masuk sekolah,” tandasnya.(HS)