
HALO SEMARANG – Langkah mediasi, dinilai menjadi pilihan terbaik dalam upaya menyelesaikan sengketa medis dalam hukum positif di Indonesia. Hal itu disampaikan Dr Syarief Taufik Hidayat, Ketua Komite Medik RSUP Dr Kariadi dalam Seminar Hukum Kedokteran dengan tema Peningkatan Kesadaran Hukum Kedokteran Bagi Dokter dan Rumah Sakit di Era JKN yang diadakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah di Patra Semarang Hotel & Convention, Sabtu (26/10/2019).
Menurutnya, pasien selalu melihat hasil akhir, sementara dokter dan tenaga medis melihat standar operasional dan presedur (SOP), proses, dan etika pelayanan. Maka untuk itu, jika ada hasil akhir yang tak sesuai dengan harapan pasien, kerap timbul sengketa medik, dan bahkan sampai tuduhan malpraktik.
“Sengketa medis terjadi, biasanya disebabkan jika pasien ada merasa dirugikan karena hasil yang tak diharapkan. Padahal dokter telah menjalankan sesuai prosedur. Namun memang ada respon lain dari tubuh pasien, yang membuat hasil tindakan medis tak sesuai dengan harapan,” katanya.
Ditegaskan, sengketa medis belum tentu malpraktik. Malpraktik terjadi jika ada penyalahgunaan, kelalaian, atau pembiaran yang dilakukan dokter atas penanganan terhadap pasien. Namun jika dilihat dari standar operasional dan prosedur (SOP) sudah dijalankan dengan benar, namun ada hasil yang kurang memuaskan dari pasien, hal itu biasanya akan berakhir dengan sengketa medis saja.
“Idealnya, sebelum dilakukan penanganan memang harus dijelaskan dan diberikan informasi yang cukup soal risiko atas tindakan terhadap pasien. Apalagi jika risiko sudah terdeteksi sejak awal. Memang dalam sengketa medis ada beberapa jalur penyelesaian. Ada jalur hukum, etika, dan mediasi. Mediasi inilah yang menurut kami jadi pilihan tepat dalam penyelesaian sengketa medis,” katanya.
Sementara pembicara lain, Dr Darmono SS yang juga Ketua MKDKI 2007-2021 mengatakan, sengketa medis jika masuk ke ranah hukum penyelesainnya masih campur dengan banyak aturan. Bisa hukum pidana, perdata, dan juga sanksi administrasi. Dan pilihan aturan itu menurutnya menjadi hak kebebasan hakim jika sengketa medis sudah masuk ke ranah hukum.
“Menurut saya harus ada kajian terlebih dulu atas kejadian, karena persoalan medis jadi kejadian luar biasa. Karena ada beberapa penanganan yang rawan karena risiko besar. Seperti tumor otak risiko lumpuh, gagal ginjal risiko meninggal, penanganan nyoma uteri risiko buta, dan beberapa penyakit lain,” paparnya.
Maka untuk itu, diperlukan analisis pathogenesis jika ada pasien meninggal dalam operasi atau ada hasil penanganan medis yang tak sesuai dengan harapan pasien.
“Karena tak semua kasus dengan hasil yang tak sesuai harapan pasien itu karena kesalahan dokter. Harus ada penelitian lebih lanjut soal penyebab sebelum masuk ke ranah hukum. Khususnya jika ada kasus kematian pada pasien,” katanya.
Di lain sisi, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jateng, Teguh Hadi Prayitno yang juga didatangkan sebagai pembicara mengatakan, dalam kasus sengketa medis kerap terjadi pemberitaan di media yang tentu sangat merugikan bagi pihak dokter atau rumah sakit. Padahal, katanya, pemberitaan itu belum ada kajian atau kepastian hukum. Media seakan mengadili atas kasus yang belum tentu itu malpraktik.
“Jika terjadi seperti itu, pihak dokter atau rumah sakit bisa memberikan hak jawabnya, karena kerja jurnalis juga diatur dengan etika jurnalistik. Maka untuk itu agar tak terjadi penghakiman dari media, khususnya rumah sakit perlu memiliki divisi humas yang memang memiliki kompetensi dalam hal media maupun pemahaman tentang media. Jangan sampai divisi humas ini hanya sekadar ornamen kecil di rumah sakit, karena humas sebenarnya memiliki peran besar dalam mengkomunikasikan apa yang terjadi dalam persoalan medis kepada masyarakat melalui media,” katanya.
Terpisah, Ketua IDI Jawa Tengah, Dr Djoko Handojo mengatakan, seminar ini dilaksanakan sebagai upaya memberikan pemahaman hukum bagi tenaga medis maupun masyarakat. Tuntutan hukum terhadap dokter dan rumah sakit atas dugaan malpraktik medis yang masih kerap terjadi di Indonesia, menimbulkan kekawatiran tersendiri bagi banyak pihak, terutama mereka yang bergerak dalam dunia medis.
“Kita ketahui kami para dokter saat bertugas harus menjaga etika. Situasi sekarang saat ini sulit, dan tergerus situasi yang ada. Ada aturan yang bisa menjebak dalam aturan hukum. Apalagi kami juga dalam setiap tindakan harus sangat waspada, karena bisa kena pasal KHUP pasal 359 dan 360 jika terjadi apa-apa yang sebenarnya juga tak kami inginkan,” katanya.
“Dengan seminar ini, diharapkan ada pencerahan dalam menjalankan tugas sebagai dokter. Tujuannya untuk mengupas bagaimana perlindungan hak dan tanggung jawab semua pihak, baik pihak rumah sakit, dokter, maupun pasien,” ungkapnya.
Beberapa pembicara didatangkan untuk mengupas persoalan tersebut. Di antaranya Dr Agus Hadian Rahim sekretaris Direktorat Jendral Pelayanan Masyarakat sebagai keynote speaker, Dr Darmono SS (Ketua MKDKI 2007-2021), Dr Syarief Taufik Hidayat (Ketua Komite Medik RSUP Dr Kariadi), Wukir Prayitno (Advokad), Teguh Hadi Prayitno (jurnalis), dan Doktor Edward Omar Syarif (guru besar Hukum Pidana).(HS)