in

Kisah Dhania, Gadis 16 Tahun Termakan Propaganda ISIS di Medsos

Pemutaran film dokumenter bertajuk “Seeking The Imam” karya Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) di SMA 1 Batik Solo, Senin (20/6/2022).

DI era media sosial seperti saat ini, verifikasi informasi menjadi sangat penting. Sebab, informasi yang menyebar di media sosial tak semuanya benar. Mencari informasi pembanding jadi salah satu cara verifikasi. Kelompok ekstremis kerap membajak agama demi kepentingan kelompok mereka sendiri.

Hal itulah yang terungkap dalam film dokumenter bertajuk “Seeking The Imam” karya Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Film itu diputar di hadapan pelajar SMA dari berbagai sekolah di Solo. Pemutarannya dilakukan di SMA 1 Batik Solo, Senin (20/6/2022), yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan bertema “Ekspresi Kaum Muda: Bangga Nusantara Tolak Radikalisme Terorisme” itu juga sengaja digelar dalam rangka Bulan Pancasila Tahun 2022.

Karakter utama dalam film itu, Dhania (24) bercerita di hadapan audiens. Dia berbagi pengalamannya “terjebak” media sosial, yang membuatnya sempat tergelincir masuk ke wilayah kelompok ISIS di Suriah pada 2015 hingga 2017. Dhania ketika itu baru berusia 16 tahun, masih duduk di kelas 2 SMA di Kepulauan Riau.

“Saya nggak happy, apalagi ditambah tugas, kerjaannya gitu-gitu doang, belajar, belajar belajar. Ayah juga sibuk, iya sih nyari duit buat kita juga tapi kan harusnya ada waktu juga buat keluarga, buat anak-anak,” kata Dhania.

Itulah salah satu titik awal “kekecewaan” Dhania pada keluarga. Akhirnya, “larilah” dia ke media sosial. Dhania banyak berselancar di Facebook, termasuk mengikuti Tumblr yang isinya catatan harian para muhajirin di Suriah. Ada beberapa akun yang diikutinya di Tumblr, di antaranya Diary of Muhajirah dan Al-Muhajirat.

Rata-rata isinya tentang cerita kehidupan di wilayah ISIS yang begitu indah dan menyenangkan. Seperti pendidikan gratis, fasilitas kesehatan gratis, kehidupan yang adil.

“Pokoknya, negeri yang diberkahi. Saya ketika itu langsung percaya,” lanjut Dhania.

Akhirnya, bersama keluarganya, termasuk beberapa saudara-saudaranya, mereka nekat meninggalkan Indonesia “berhijrah” ke wilayah ISIS di Suriah. Ternyata, sesampainya di sana, yang didapati bertolak belakang dengan apa yang disebutkan di media-media sosial tadi.

Bersusah-payah, Dhania dan keluarganya akhirnya bisa kabur dari wilayah ISIS sebelum kemudian dievakuasi oleh tim dari Pemerintah Indonesia pada Agustus 2017.

“Jadi pesannya, ketika menemukan informasi apapun selalu teliti kembali dari sumber yang lain atau orang yang lebih paham,” tutup Dhania yang ketika itu hadir pula Nailah, kakaknya.

Hari ini, Dhania aktif menulis berbagai artikel termasuk mengisi berbagai kegiatan untuk edukasi anak-anak muda agar tidak “tergelincir” sepertinya. Selain itu, Dhania juga sedang merintis bisnis.

Nara sumber lain pada kegiatan itu, Joko Tri Harmanto alias Jack Harun, mantan narapidana terorisme (napiter), menyebut untuk membendung radikalisme dan terorisme semua komponen harus bersama-sama, mulai dari pemerintahan, dunia pendidikan, hingga masyarakat.

“Orang-orangnya kalau diciduk (ditangkap) mudah, tapi membendung pahamnya itu yang sulit. Kalau dikuatkan masyarakatnya, dari RT sampai kelurahan, maka masyarakatnya jadi cerdas dengan begitu paham-paham seperti itu akan tertolak dengan sendirinya,” kata Jack yang juga Ketua Yayasan Gema Salam sekaligus pengusaha warung Soto Bang Jack.

Siasat Agama

Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jawa Tengah, Haerudin, memaparkan radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki secara cepat perubahan sosial dan politik. Tingkatannya mulai dari paham atau aliran, sikap hingga melakukan tindakan perlawanan dengan kekerasan untuk tujuan secara cepat tadi.

“Sebenarnya bukan untuk agama, tetapi menggunakan siasat agama,” kata Haerudin.

Dia mengakui, butuh peran dari instansi terkait, termasuk sekolah-sekolah hingga masyarakat luas untuk bersama-sama mencari solusi persoalan ini.

“Data masih kesulitan (konteks pendidikan), berapa sih siswa yang sudah terpapar radikal, terorisme, intoleran. Datanya itu dinamis sekali, apalagi (mungkin) di Jawa Tengah ini,” tambahnya.

Sutradara film Seeking The Imam, Rahmat Triguna alias Mamato, menyebut dirinya terketuk membuat film dokumenter itu karena terketuk melihat fenomena itu.

“Selain soal gadget, media sosial dan anak muda, tapi juga refleksi bagi saya sendiri sebagai seorang ayah,” kata Mamato.

Terkait film tersebut, Mamato menyebut perlu waktu hingga 2 tahun untuk menyelesaikan semuanya.

“Dhania kooperatif sekali dengan kami selama proses produksi. Sekarang dia (Dhania) berkontribusi di ruangobrol.id,” lanjutnya.

Pada kegiatan yang berlangsung sekira 3 jam itu, ada beberapa sesi tanya jawab dengan audiens. Rata-rata mereka bertanya soal tepat atau tidak ketika menumpahkan curahan hati (curhat) di media sosial, hingga mengiyakan bahwa di dunia digital informasi begitu padat. Direktur KPP, Anisa Yarmasari bertindak sebagai moderator acara itu. Sempat hadir pula, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Uswatun Hasanah.

Pada bagian lain, Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, menyebut tidak ada toleransi bagi kelompok radikal teror. “Sebab kalau kita biarkan, mereka akan menggurita. Mari sama-sama waspada, mari sama-sama menjaga Indonesia,” ujar Ganjar.

Dia bercerita pengalaman ada siswa SMK di Sragen mengibarkan bendera hitam. Dia mengejar anak itu diajak berdialog.

“Jika misalnya di sekolah terdapat siswa yang menunjukkan sikap radikal, maka pihak sekolah harus membina. Kalau enggak bisa kita ngobrol saja, perlu enggak sekolah itu ditutup karena argumentasi penolakannya itu pokoknya tidak boleh hormat bendera,” tutup Ganjar.(HS)

Penetapan Tersangka Residivis Dinyatakan Tak Sah, Pelapor: Hakim PN Semarang Khilaf Membuat Pertimbangan

Menpora Tinjau Arena APG 2022, Toilet Harus Ramah Disabilitas