in

Kampung Celengan yang Kini Hilang, Dulu Tempat Produksi Gerabah Dugderan

Balai RW 1 di Jalan Abimanyu masih berdiri yang dulu pernah jadi kantor Lurah Celengan.

 

DALAM tradisi Dugderan yang selalu digelar sebagai wujud suka cita atas datangnya Bulan Ramadan di Kota Semarang, ada satu keunikan yakni maraknya penjual aneka mainan dari gerabah. Mainan berbagai bentuk seperti celengan, mangkuk, piring, kendi, pot bunga yang dicat warna-warni itu selalu dijajakan pedagang di bahu-bahu jalan.

Gerabah memang tidak bisa dilepaskan dari perayaan Dugderan. Bisa dikatakan berbagai mainan tradisional termasuk gerabah yang saat ini dijual saat pelaksanaan Dugderan di Kota Semarang, merupakan saksi bisu tradisi itu.

Namun sayangnya, kini kerajinan gerabah itu banyak didatangkan dari wilayah luar Kota Semarang. Seperti Jepara dan Grobogan.

Padahal dulu, sekitar tahun 1960 sampai 1980an, gerabah-gerabah itu dipasok langsung dari warga Kota Semarang. Terutama dari Kampung Gabahan dan Kampung Celengan Semarang.

Namun dua kampung tersebut kini tak lagi ada pembuat kerajinan yang berbahan dasar tanah liat itu. Bahkan Kampung Celengan, saat ini sudah tinggal nama karena sudah melebur dengan Kampung Pendrikan Lor.

Sebagai informasi saja, dulu sebelum menjadi kampung padat penduduk, wilayah di sekitar Jalan Abimanyu V, VI, VII dan VIII Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah, merupakan salah satu pusat kerajinan gerabah di Kota Semarang. Masyarakat di sana, mayoritas mata pencahariannya menjadi perajin gerabah.

Gerabah yang diproduksi pun kebanyakan berbentuk celengan, atau tabungan berbentuk kendi kecil dengan lubang di bagian atas yang hanya cukup untuk memasukkan uang koin dan uang kertas yang dilipat. Kampung itu pun, menurut ceritanya dikenal sebagai Kampung Celengan.

Namun seiring perkembangan zaman, Kampung Celengan berubah nama menjadi sesuai jalan di gang-gang tersebut,
karena digabungkan menjadi wilayah Kelurahan Pendrikan Lor.

Ketika menyusuri kampung itu, meski tidak ada sisa-sisa atau warga yang masih membuat aneka kerajinan gerabah, tapi untuk menemukan sejarah kampung tersebut masih bisa didapat dari cerita sesepuh kampung.

Menurut salah satu tokoh, Slamet, warga RT 4 RW, sekitar tahun 1970an warga Kampung Celengan mayoritas merupakan perajin gerabah. Gerabah yang dibuat bentuknya celengan dan mainan anak-anak dari tanah liat yang dijual saat Dugderan.

“Dugderan kan dulu pusatnya tidak di Pasar Johar, tetapi di Kampung Beringin,” katanya.

Menurutnya Kampung Celengan itu kini sudah berganti nama menjadi Jalan Abimanyu. Tingginya kebutuhan permukiman penduduk di kawasan itu, akhirnya menggeser tempat produksi kerajinan gerabah yang dulu ada di
kampung ini.

Warga lain, Mujiono menceritakan, saat dia kecil, permukiman di Kampung Celengan tidak sepadat saat ini. Akan tetapi mulai awal 1970-an, banyak warga yang membangun rumah di kawasan itu. Apalagi Kampung Celengan lokasinya dekat dengan Stasiun Poncol, sehingga cepat berkembang menjadi kampung modern.

”Kalau soal sejarah, ada yang bilang, dulu banyak perajin celengan. Tapi ada juga yang bilang, dulu sebelum menjadi
permukiman, di sini banyak babi hutan atau celeng,” ujarnya.

Dijelaskan, Kampung Celengan dulunya merupakan wilayah kelurahan yang terdiri dari beberapa rukun warga. Setelah otonomi daerah, Kampung Celengan bergabung dengan Kelurahan Pendrikan Lor, yang kantor kelurahannya berada di Jalan Indraprasta.

Kantor Lurah Celengan yang ada di ujung Jalan Abimanyu VI pun, hingga saat ini masih ada dan menjadi Balai Pertemuan RW I.

”Di Balai RW sering digelar acara warga, seperti pengajian rutin serta kegiatan lain dalam rangka guyub dan rukun warga,” katanya.

Sementara itu, pengamat sejarah Kota Semarang, Rukardi Achmadi mengatakan, terkait dengan sejarah kota, memang banyak daerah di Kota Semarang yang diberi nama sesuai dengan toponim berdasarkan riwayat yang ada.

“Misalnya, nama daerah Peterongan, berdasarkan riwayatnya dulu, daerah tersebut berupa kebun atau ladang yang ditanami tanaman terong. Sehingga kini masyarakat menyebutnya peterongan. Selain itu, nama lainnya, yaitu Pasar Johar berasal dari pohon johar. Nama-nama seperti itu masih banyak, ada Kampung Kulitan, Jagalan, dan beberapa nama kampung yang punya nilai historisnya sendiri-sendiri. Kalau nama tersebut diganti karena penggabungan kelurahan dan dampak dari perkembangan zaman, maka nilai historisnya akan hilang,” paparnya.(HS)

ISEI Cabang Semarang Kirim 11 Delegasi ke Seminar Nasional dan Sidang Pleno XX ISEI di Bali

Lima Calon Bakal Bersaing Merebut Posisi Ketua MPC PP Kota Semarang