in

JOKER ADALAH KITA? Ah…

Foto Ilustrasi.

 

Kita tidak bisa menolong, tapi tahu orang-orang itu tidak akan pernah
bisa mengerti satu dengan yang lainnya. Dunia telah dikuasai oleh kebencian.
Bagaimana kau menghadapi kebencian ini dalam misi mewujudkan
kedamaian? Aku mau mendengar jawabanmu.

“Pain Akatsuki”
-Naruto Shippunden-

ARTHUR FLECK barangkali adalah sosok yang paham sekaligus tak mengerti dengan dirinya sendiri. Dia paham tentang getir tapi tak mengerti bagaimana mengelola kekecewaan. Dia paham dengan keputusasaan tapi tak mengerti bagaimana mengatasi rasa bersalah. Dia paham bagaimana menuliskan sejarah tapi tak mengerti bagaimana masa depannya.

Dan Arthur Fleck muncul sebagai orang berbeda dengan jargon yang kadung ditempelkan untuknya, orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti dan itu meneguhkan menjadi orang paling tragis yang pernah ada.

Dalam buku “The Art of watching Film” karya Joseph M Boggs, Joker adalah sebuah ironi karakter atau watak yang terjadi dalam tokoh, kemudian saling berlawanan dengan kuat dalam dirinya. Dan biasanya atas hal tersebut menghasilkan tingkah laku yang tak bisa diperkirakan. Lebih jauh lagi dalam Joker, banyak orang tak mengerti, banyak orang menyalahkan, dan terlalu banyak orang mencemooh bahkan membuang muka untuknya. Dan tak sedikit pula yang mengutuk dan menganggap apa yang dilakukan adalah biadab.

Sayang, masyarakat selalu memiliki topeng. Dan orang-orang yang berdiam diri, mengutuk setiap kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh mereka yang dianggap biadab dan paling kejam, orang-orang yang telah kehilangan mata dan kepekaan. Orang-orang yang berdiam diri dalam ketenangan, sambil melempari nilai dan moral pada mereka yang mengganggu kenyamanannya, adalah kotoran dari segala kotoran yang mengendap di kedalaman.

Mereka bersembunyi di balik topeng moralitas dan agama. Mereka adalah penipu terbesar dalam sejarah, lalu takut akan dosa dan berjalan dalam terang kebaikannnya sendiri, memasang wajah yang paling mengesankan, menipu orang-orang dengan senyumnya yang paling menawan, dan selalu mencoba untuk bersikap bijak. Padahal dalam lubuk hatinya yang terdalam, mereka pun sakit.

Falsafi ironi kosmik yang dibangun dalam film Joker besutan Todd Philips menghadirkan implikasi yang cukup kuat. Meskipun ironi pada dasarnya adalah alat ekspressi, namun teknik ironi yang digunakan terus menerus sepanjang film ini, merupakan tanda bahwa sutradara mempunyai falsafi tentang pandangan dunia yang ironi. Karena setiap ironi menggambarkan situasi yang bermuka dua, sama-serupa, mempunyai sifat kebenaran ganda, yang pada akhirnya saling meniadakan.

Maka efek menyeluruh dari ekspresi ironik ialah memperlihatkan kompleksitas kegilaan, ketidakpastian pengalaman manusia, rentetan paradoks, kontradiksi berkelanjutan, ketimpangan dan tak tertemukan kebenaran yang mutlak.

Dan tak salah jika sebelum pemutaran perdana film ini, sudah banyak menimbulkan kontroversi dan menjadi persoalan bagi penegakan hukum di Amerika Serikat. Karena dalam sepekan terakhir, pihak kepolisian mengumumkan sebuah potensi kekerasan dan juga sejumlah pemilik bioskop sepakat untuk tidak memutar film ini.

KEPRIHATINAN atau KEGEMILANGAN?

Akting Joaquin Phoenix dalam film ini memang terlihat maksimal dan mendalam, meski sebenarnya ada sedikit keterpengaruhan yang sudah dibawanya sejak 2012, ketika dia bermain dalam film berjudul Master. Ditambah Phoenix salah satu “spesialis” peran bandit-bandit favorit. Maka dia tidak bersepakat jika Joker ini bicara melulu soal kekerasan. Ada pesan lain yang tersampaikan tentang kurangnya cinta kasih, trauma masa kecil, kesepian dan kepedihan.

Kontroversi Joker memang sudah kadung mengalir ke mana-mana. Pegiat kesehatan mental mengkhawatirkan informasi yang salah tentang propaganda patologis. Menurut Jullie Evans, Kepala Komunikasi Lembaga Amal Inggris Time to Change, ada sejarah panjang tentang penyajian kondisi kejiwaan dalam film. Penggambaran yang dramatis dan dilebih-lebihkan menjadi informasi yang salah. Sebab mayoritas orang dengan penyakit mental tidak mengancam. Dan Jullie menekankan, mereka lebih cenderung sebagai korban ketimbang pelaku.

Psikolog Travis Langley, penulis buku “The Joker Phsycology-Evil Clowns and the Women Who Love Them” pernah mengatakan, penjahat selalu menggerakkan cerita, sebab pahlawan cuma karakter reaktif. Pahlawan bergerak setelah penjahat melakukan perbuatannya. Dan Joker melalui akting Phoenix berhasil menjelma menjadi idola baru, masyarakat seperti menemu pencerahan tentang gerakan perlawanan.

Dan adagium jika seorang pemberontak muncul di tengah masyarakat, maka harus disadari bahwa ada yang tak beres sedang menemu hal yang tepat. Seorang pemberontak adalah endapan penyakit yang ada dalam masyarakat, di mana dia hidup. Kehadirannya telah memberikan peringatan. Tentu tidak semua pemberontakan adalah buruk, tidak semua pemberontak adalah penyakit, terkadang masyarakat beserta orang di dalamnya adalah penyakit yang sebenarnya.

Joker masuk dalam skala kosmis ironi yang unik. Dia menjadi penjahat yang selalu dibutuhkan, dalam hal ini Batman. Dia memerlukan Joker sebagai penyempurna untuk tetap menjadi pangeran kegelapan. Ironi ini digambarkan dalam tawa patologis Joker. Joker mungkin saja juga tertawa dengan disyahkannya RUU, Perppu, kebijakan BPJS, harga-harga yang naik, omongan pejabat dan seluruh kerusakan sistem di negeri ini. Dan kita semua tertawa karena semuanya sudah terasa pedih untuk ditangisi. Dan mungkin Joker adalah kita, tapi, ah… (HS)

Yuk Meriahkan Lomba Foto Nasional “YUK LUR DOLAN SEMARANG”

Mengintip Gedung Sobokartti Semarang, Peninggalan Arsitek Belanda Thomas Karsten