HALO SEMARANG – Wakil Ketua DPRD Jateng, Heri Pudyatmoko menyoroti kasus pernikahan dini di Jawa Tengah. Dirinya mendorong Pemprov Jateng untuk serius melakukan pencegahan pernikahan dini, dengan berbagai pendekatan.
Hal itu terkait angka perkawinan anak atau pernikahan dini di Jawa Tengah yang mengalami perkembangan yang fluktuatif selama empat tahun terkahir. Data dari DP3AP2KB Jawa Tengah menyebutkan, angka pernikahan dini mencapai 2.049 pada tahun 2019 daan melonjak drastis ketika masa pandemi tiba hingga mencapai 12.972 kasus.
Jumlah tersebut terus meningkat pada tahun 2021 yang mencapai 13.595 kasus dan terus berlanjut hingga hari ini. Bahkan secara nasional, pada tahun 2022 mencapai 1,2 juta kejadian pernikahan dini.
“Ini ironi terutama karena generasi muda memiliki peran penting dalam menjaga dan meneruskan cita-cita bangsa. Ketika kasus pernikahan dini meningkat, tentu turut memangkas peluang pendidikan dan kesejahteraan sebagai anak yang tumbuh dan berkembang,” tegasnya, baru-baru ini.
Heri Londo, sapaan akrab Heri Pudyatmoko mengatakan, perlu adanya upaya untuk memutus rantai peristiwa pernikahan dini. Sehingga perlindungan dan pemenuhan hak bagi setiap anak yang merupakan kewajiban bagi negara dapat terpenuhui.
“Salah satu sumber daya manusia yang harus dilindungi dan dijaga adalah anak. Perlindungan anak penting dilakukan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal,” jelasnya.
Menurutnya, anak perlu mendapatkan hak yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Termasuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, khususnya pernikahan dini.
“Ada bahaya yang mengancam dari praktik pernikahan dini. Seperti kemiskinan lintas generasi, anak menjadi putus sekolah, dan peningkatan pekerja di bawah umur. Belum lagi terkait gejolak mental yang terjadi dan kualitas generasi ke depannya,” ungkapnya.
Bonus Demografi
Heri menjelaskan, wacana bonus demografi Indonesia pada tahun 2045 akan terganggu apabila kejadian pernikahan dini terus berlanjut. Bukan tanpa alasan, hal tersebut lantaran ketika anak melakukan pernikahan dini, maka proses pembelajaran, pengenalan, dan pengalaman juga akan terganggu.
“Anak yang menikah dini ini sangat rentan dengan pemutusan pendidikan. Mereka akan disibukkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan keberlangsungan rumah tangga. Semakin bahaya ketika kesadaran untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan diri juga terputus,” paparnya.
Bahkan, katanya, pernikahan dini juga tidak menjamin lahirnya generasi baru degan kualitas yang unggul. Angka stunting akan berpotensi semakin naik tajam karena anak lahir dari ibu yang belum siap secara reproduktif.
“Kemudian kualitas pendidikan juga akan lambat karena belum adanya kesiapan orang tua, baik secara sikap maupun mental untuk mendidik keturunannya,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, ia melanjutkan, perlu dilakukan strategi serius untuk mencegah perkawinan dini. Seperti menjamin pelaksanaan serta penegakan regulasi dan meningkatkan kapasitas serta optimalisasi tata kelola kelembagaan.
Kemudian menurutnya, perlu juga adanya optimalisasi kapasitas anak dengan meningkatkan kesadaran dan sikap anak. Khususnya terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif serta peningkatan partisipasi anak dalam pencegahan perkawinan.
Dan salah satu yang terpenting yakni menguatkan peran orang tua, keluarga, organisasi sosial/kemasyarakatan, sekolah, dan pesantren untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
“Jaminan anak untuk mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak juga menjadi perhatian penting. Sembari beriringan dengan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak,” jelas politisi Partai Gerindra tersebut.(Advetorial-HS)