
HALO SEMARANG – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jateng mengeluhkan rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai tembakau sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) rokok naik 35 persen pada 1 Januari 2020 kepada Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Senin (16/9/2019).
Ketua APTI Jateng Wisnu Brata mengatakan, pada masa panen raya bulan lalu, petani bersyukur karena harga tembakau cukup bagus. Tetapi memasuki masa panen kedua, pemerintah mengumumkan rencana menaikkan cukai tembakau. Harga jual tembakau dari petani pun turun 10 persen hingga 15 persen.
Dijelaskan, di Temanggung untuk tembakau grade D dari harga Rp 80 ribu turun menjadi Rp 70 ribu per kilogramnya. Di Demak dari Rp 45 ribu menjadi Rp 30 ribu. Di Klaten, tembakau grade C dari harga Rp 55 ribu menjadi Rp 45 ribu. Meski baru rencana, kata Wisnu, harga tembakau sudah turun akibat wacana tersebut.
“Ini kan merugikan petani. Bagaimana kalau direalisasikan. Kami minta Pak Gubernur bisa menyampaikan ke pemerintah pusat keluhan petani ini. Kalaupun naik, proporsional lah. Kami juga sudah membuat surat kepada Presiden, dan Pak Gubernur bisa menyampaikannya,” kata Wisnu.
Menurut Wisnu, keputusan pemerintah tersebut merupakan langkah mundur yang berdampak matinya ratusan industri nasional hasil tembakau, termasuk jutaan petani tembakau. Sedangkan secara jamak diketahui, tembakau dan cengkeh merupakan komponen bahan baku dalam memproduksi rokok kretek. Adanya kenaikan cukai 23 persen, petani tembakau sangat khawatir serapan tembakau dari industri hasil tembakau pun berkurang.
“Petani tembakau sebagai salah satu stakeholders sektor pertembakauan, tidak pernah diajak komunikasi dengan pemerintah. Aspirasi petani tembakau diabaikan pemerintah. Petani tembakau meminta kenaikan cukai yang proporsional dengan memperhatikan semua aspek. Mulai aspek pertumbuhan ekonomi, inflasi, kondisi IHT. Kami juga meminta Pemerintah menjalankan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK 010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK 010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau,” jelasnya.
Ditambahkan, APTI juga menentang rencana simplifikasi cukai, karena akan menyebabkan industri rokok hancur dan tentunya juga tidak bisa menyerap tembakau petani. Dalam kajian APTI, kebijakan cukai memperlihatkan tren kenaikan setiap tahunnya, dengan rata-rata kenaikan mencapai 10 sampai 11 persen dalam empat tahun terakhir. Akibat kenaikan tersebut, banyak pabrik rokok kecil gulung tikar. Tutupnya pabrik rokok itu pada gilirannya mengganggu serapan hasil petani tembakau.
Karena, besaran penggunaan bahan baku tembakau dalam negeri di setiap batang rokok, menentukan prosentase kenaikan cukai. Semakin banyak kandungan lokal, kenaikan cukainya rendah dibandingkan rokok yang lebih banyak menggunakan bahan baku tembakau impor.
Sementara di depan para petani yang berasal dari Rembang, Temanggung, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Demak, dan Klaten itu, Ganjar Pranowo menjelaskan jika rencana kenaikan itu sebenarnya akan diberlakukan tahun lalu, tetapi ditunda.
“Saya akan komunikasikan hal ini ke pusat. Toleransi yang diberikan atas kenaikan itu berapa. Apalagi dalam rencana ini, petani tidak diajak dialog,” ujarnya.
Ganjar juga menyarankan kepada APTI untuk beraudiensi dengan kementerian dan menyampaikan secara langsung, ternyata dengan menaikkan cukai terjadi penurunan harga tembakau. Sehingga dengan beraudiensi, akan diketahui atau mendapatkan jalan tengah, apa dampak positif dan negatifnya dengan menaikkan cukai tembakau.
“Tetap pada prinsipnya, saya akan bantu ke kementerian agar menjadi pertimbangan,” tandas Ganjar.(HS)